Bekerja di negeri seberang untuk mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi, tentu menjadi dambaan semua orang. Namun menjadi pintar ilmu agama di negeri yang tidak "beragama", sudah barang tentu sebuah karunia yang tidak dimiliki semua orang.
Mendapatkan ilmu agama tidak harus didapat dari surau, masjid, madrasah, pondok pesantren, atau majelis taklim. Ilmu agama juga tidak mesti diturunkan dari ustaz, kiai, atau apa pun sebutan yang melekat pada diri orang alim.
Ratusan nelayan asal Indonesia yang mengadu nasib di Donggang (baca: Tongkang), Kabupaten Pingtung, mendapatkan ilmu agama justru dengan cara-cara yang tidak lazim.
Mereka mengais ilmu agama dari satu kapal pencari ikan ke kapal lainnya yang sedang bersandar di kota pelabuhan di bagian selatan Taiwan itu.
Pemilik kapal bukan orang Indonesia, melainkan orang Taiwan yang memang tidak diwajibkan memeluk agama tertentu. Di pulau yang disebut Formosa oleh penjajah Portugis karena keelokannya itu tidak diatur masalah agama.
Meskipun demikian, beribadah dan menjalankan ritual keagamaan tetap diizinkan, asalkan tidak mengganggu pekerjaan atau kegiatan di sekolahan.
Para nelayan yang kebanyakan berasal dari wilayah pantai utara Pulau Jawa itu mampu memanfaatkan sekecil apa pun kesempatan yang diberikan oleh majikannya di Taiwan.
Muhsin (55), nelayan asal Surodadi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, layak disebut sebagai peletak dasar ilmu agama Islam di kota pelabuhan yang berjarak sekitar 392 kilometer di sebelah selatan Ibu Kota Taiwan di Taipei.
Tanpa kehadiran Mushin, bisa jadi tidak akan terdengar azan atau pun lantunan ayat-ayat suci Alquran sampai sekarang. Demikian pula gema takbir dan tahmid pada malam Idul Adha, Sabtu (4/10) 2014, tidak akan menjadi hiburan tersendiri bagi penduduk pribumi di Donggang.
Muhsin meninggalkan Donggang sejak empat tahun silam setelah kontrak kerjanya sebagai nelayan habis dan sekarang menetap di kampung halamannya di Kabupaten Tegal. Namun ilmunya dilestarikan oleh para pengikutnya di Donggang.
Pada 2006, para nelayan asal Indonesia terbiasa tidur di kapal-kapal pencari ikan. Di kapal yang rata-rata berukuran 4 x 20 meter mereka melakukan beragam aktivitas di luar pekerjaan.
Awalnya Muhsin mengajak ketiga rekannya, yakni Sutikno, Yunus, dan Tuwu untuk shalat berjemaah. "Setelah bersembahyang, Pak Muhsin mengajari kami mengaji," kata Sutikno (43) saat ditemui di Pingtung, Minggu (5/10).
Dari tiga orang, jumlah santri Muhsin berkembang menjadi 10 orang. "Saya sejak 2005 berada di Pingtung, tapi baru dua tahun kemudian bertemu Pak Muhsin," kata Sahudi (32).
Nelayan asal Desa Kali Lingi, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, itu mengaku sebelumnya sama sekali tidak bisa mengaji, apalagi mengerti ilmu agama.
"Sejak kelas 2 SD saya sudah membantu orang tua bekerja sebagai nelayan di Brebes sana. Tidak pernah diajari mengaji. Saat pulang kampung beberapa waktu lalu, keluarga saya kaget karena saya sudah bisa mengaji," ujar pria yang tidak tamat SD itu.
Demikian pula yang dialami Imam Sobirin yang masih bertetangga dengan Sahudi. "Saya memang pernah belajar mengaji di kampung. Tapi baru betul-betul bisa, ya setelah ketemu Pak Muhsin," ujarnya.
Hingga 2010 jumlah santri Muhsin sudah mencapai angka 100-an sehingga tidak mungkin belajar dan shalat berjemaah dilangsungkan di kapal pencari ikan.
"Kebetulan ada warga sini yang mau mengontrakkan rumahnya. Kami pun sepakat patungan membayar sewa rumah 8.500 NT (setara Rp3.400.000) per bulan," kata Sutikno.
Mimpi Para Nelayan
Bangunan dua lantai yang beralamat di 34-1 Fung Yu Li, Fung Yu St, Donggang, itu kini tidak hanya menjadi tempat tinggal para nelayan.
Di bangunan milik Su Kwu Chen yang berjarak sekitar 20 meter dari dermaga persandaran kapal ikan di Pelabuhan Donggang itu dihuni sekitar 100 nelayan.
Sekilas bangunan itu mirip pondok pesantren di Pulau Jawa. Sekat-sekat di lantai dasar bangunan itu bukan berfungsi sebagai pembatas antarkamar, melainkan pembatas ruang makan, gudang, dan sekretariat Forum Silaturahmi Pelaut Indonesia (Fospi). Para nelayan di Donggang bergabung dalam organisasi itu.
Di lantai dua hanya ada dua sekat. Mereka menjadikan lantai dua sebagai tempat beribadah sekaligus tempat belajar agama. Meskipun bukan masjid, lantai dua bangunan itu dijadikan tempat shalat Jumat dan shalat Id sebagaimana terlihat dari adanya mimbar dan tongkat untuk khutbah di bagian sudut.
Sampai saat ini para nelayan, khususnya yang masih baru bekerja di Donggang, memanfaatkan rumah itu untuk belajar ilmu agama pada malam hari.
Pada pagi sampai sore hari, mereka bekerja di kapal untuk mencari ikan di perairan Selat Taiwan hingga Laut Pasifik. "Tapi ada juga yang kapalnya melaut pada malam hari. Biasanya kalau kerja malam hari, waktunya lebih singkat sehingga belajar agama pun bisa lebih leluasa," kata Imam Sobirin.
Dalam kurun waktu empat tahun lebih, para nelayan itu sudah berhasil menghimpun dana 6.150.000 NT atau setara Rp2,4 miliar. Uang yang mereka kumpulkan dari hasil iuran itu hendak mereka tasarufkan untuk membeli bangunan dua lantai tersebut.
Namun bagi warga asing tidak mudah untuk bisa memiliki properti di Taiwan. "Itu yang menjadi salah satu kendala kami untuk menjadikan bangunan ini sebagai masjid," kata Sekretaris Fospi Pingtung, Suparto.
Untuk bisa mewujudkan impian para nelayan itu, maka harus dibentuk yayasan atau lembaga hukum lainnya yang di dalam struktur kepengurusan harus melibatkan satu hingga dua orang penduduk Taiwan.
"Hal inilah yang mencoba kami fasilitasi dengan mengajak pengurus masjid di Kaohsiung dan CMA (Asosiasi Muslim China) untuk bergabung dalam yayasan tersebut," ujar pendiri PCI NU Taiwan, Bambang Arip, saat bertemu para nelayan di Donggang, Sabtu (4/10).
Pihak keluarga Su Kwu Chen memang berniat menjual bangunan tersebut. Namun mereka juga harus terlebih dulu memastikan legalitas jual-beli bangunan agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.
Kalau saja bangunan itu sudah berpindah tangan kepada para nelayan, maka akan menjadi satu-satunya masjid di Taiwan yang dimiliki oleh warga negara Indonesia.
"Kami semua di sini bertekad meneruskan perjuangan Pak Muhsin. Bagi kami, ini adalah karunia yang tidak ternilai," kata Dani, nelayan yang sehari-hari menjadi imam shalat di masjid sekaligus penampungan para nelayan itu. (WDY)