Jakarta (Antara Bali) - Dewan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menunggu
laporan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terkait ditolaknya
permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD,
DPR dan DPRD (UU MD3).
"Kami tunggu saja (laporannya)," kata
Ketua Dewan Etik Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Abdul Mukthie Fadjar
saat menjawab pertanyaan wartawan lewat pesan singkat di Jakarta,
Selasa.
Muktie Fadjar juga tidak mau berkomentar tentang rencana
PDIP yang akan melaporkan tujuh hakim konstitusi yang menolak gugatannya
tersebut.
Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menyatakan menghormati hak PDIP yang akan melaporkan hakim konstitusi ke dewan etik.
"Semua orang boleh saja melaporkan hakim ke dewan etik, wajar-wajar saja dan dihormati sepenuhnya," kata Patrialis.
Majelis
hakim MK telah menolak seluruh gugatan PDIP soal UU MD3, namun ada dua
hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion),
yakni Hakim Konstitusi Maria Farida dan Wakil Ketua MK Arief Hidayat.
Menanggapi
putusan ini, Ketua DPP Bidang Hukum PDIP Trimedya Panjaitan menyatakan
kekecewaaannya dan akan melaporkan tujuh hakim konstitusi ke dewan etik.
"Ini
menunjukkan putusan ini tidak bulat dan dipaksakan. Kami sedang
mempertimbangkan untuk melaporkan hakim konstitusi di luar yang
dissenting ini ke Komite etik MK," kata Trimedya, Senin (29/9).
Menurut dia, para hakim tersebut memutus secara terburu-buru dan seharusnya melakukan putusan sela saja.
"Sebaiknya
yang dilakukan hari ini adalah putusan sela dan hakim mendengarkan
ahli-ahli kami, dan alat bukti lain yang kami ajukan, baru dilakukan
putusan," katanya.
Trimediya mengatakan memutus uji materi terhadap UU harus dilakukan secara komprehensif, mendengar keterangan saksi dan ahli.
"Jadi dalam konteks ini kami melihat ada hukum acara yang dilanggar oleh pihak MK dalam membuat keputusan," katanya. (WDY)
Dewan Etik MK Tunggu Laporan PDIP
Selasa, 30 September 2014 14:23 WIB
Semua orang boleh saja melaporkan hakim ke dewan etik, wajar-wajar saja dan dihormati sepenuhnya,"