Jakarta (Antara Bali) - Pengamat Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus
Sihombing mengatakan pembahasan mekanisme pemilihan kepala daerah dalam
perumusan RUU Pilkada tak ubahnya "sandiwara politik" yang kini sedang
dipertontonkan sejumlah partai kepada rakyat.
"Peta suara,
berdasarkan dinamika politik yang dapat kita tangkap pada wacana politik
di ruang publik, sebagai `sandiwara politik` yang dipertontonkan kepada
rakyat," ujar Emrus Sihombing dihubungi di Jakarta, Selasa.
Emrus
memandang, dua sikap yang muncul ke permukaan, yakni mekanisme pilkada
langsung oleh rakyat (seperti yang diinginkan koalisi partai pengusung
Jokowi-JK), serta mekanisme pilkada oleh DPRD (layaknya dikehendaki
partai Koalisi Merah Putih), membuat pembahasan RUU Pilkada seolah hanya
kewenangan elite dan penguasa.
Dia menakar, jika merujuk pada
kumpulan partai kedua koalisi, wacana pilkada dikembalikan kepada DPRD
awalnya diperkirakan akan menang berkat dukungan partai Koalisi Merah
Putih yang jumlah suaranya mayoritas di DPR.
Namun, bergesernya suara DPP Partai Demokrat, diyakini akan membuat peta suara di DPR berubah.
Emrus
menilai realitas politik berlangsung sangat intensif di ruang privat,
di mana antaraktor politik melakukan dialektika politik. Di ruang privat
ini dapat terjadi kesepakatan mekanisme pilkada mana yang menjadi
pilihan.
Menurut Emrus, apabila pengesahan RUU Pilkada ditempuh melalui voting, maka akan terjadi kejutan.
Dia
memperkirakan akan terdapat anggota DPR RI yang tidak sejalan dengan
garis partainya dan mendukung pilkada langsung dengan menggunakan hati
nurani, terutama mereka yang akan berakhir jabatannya pada Oktober ini.
Hal
itu terjadi karena pilkada langsung dirasa lebih demokratis, sementara
pilkada tidak langsung merupakan "pemerkosaan" terhadap kedaulatan
rakyat.
"Melihat dukungan SBY dan Partai Demokrat serta
terjadinya gejolak internal di PPP dan pecahnya suara Golkar, itu
memperlihatkan dukungan pilkada langsung maka suara anggota DPR RI akan
memenangkan pilkada langsung," ujar dia.
Di sisi lain, kata Emrus,
bisa pula terjadi politik "gali lubang" untuk menjerumuskan partai dan
atau aktor politik tertentu. Misalnya, apabila pilkada dikembalikan ke
DPRD, kemudian pada gilirannya partai-partai bergabung dalam koalisi
pendukung Jokowi-JK, maka kepala daerah akan dikuasai kubu Jokowi-JK.
"Partai
yang tidak ikut berkoalisi akan terjebak pada `lubang` tadi. Dan paling
tidak ada dua partai yang sulit bergabung dengan koalisi Jokowi-JK
yaitu Gerindra karena `luka` pilpres belum cair, dan partai PKS karena
secara ideologis partai ini memiliki ideologi, visi dan misi yang sangat
berbeda dengan PDI Perjuangan," paparnya. (WDY)
Pengamat: RUU Pilkada Tak Ubahnya "Sandiwara Politik"
Selasa, 23 September 2014 14:57 WIB