Denpasar (ANTARA) - Selama tiga tahun terakhir dunia medis disibukkan dengan penyakit menular, yakni COVID-19, kini perhatian perlu bergeser terhadap jenis penyakit tidak menular, salah satunya yang berkaitan dengan autoimun.
Imunitas atau sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melindungi diri, justru balik menyerang diri sendiri.
Psoriasis merupakan salah satu penyakit autoimun yang memberikan dampak negatif dan berpotensi berkepanjangan terhadap psikologis penderitanya.
Penyakit itu ditandai dengan lesi atau kulit pecah berwarna merah dan plak meradang di kulit. Tidak hanya menyerang kulit, penyakit itu juga bisa menyerang tulang, hingga sendi.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Bali I Gusti Ayu Raka Susanti menjelaskan hingga saat ini belum diketahui penyebab pasti psoriasis, sehingga penyakit itu masih belum bisa disembuhkan.
Penyakit itu muncul dengan ditandai gejala gatal dan kulit memerah di bagian tertentu, misalnya kulit kepala, wajah, siku, tangan, lutut, dan kaki.
Ada beberapa jenis psoriasis, di antaranya psoriasis plak atau vulgaris yang paling umum ditemukan.
Ciri-ciri jenis itu adalah kulit menebal, ruam merah dan bersisik, dengan sensasi panas dan gatal.
Selain itu, ada juga jenis lain, yakni psoriasis gutata, dengan ciri bintik kecil berwarna merah serta psoriasis pustular, yakni kulit ruam merah dan berisi nanah.
Penanganan psoriasis
Setelah mengenali gejala penyakit di kulit itu, deteksi dini psoriasis sangat ditekankan agar lebih cepat diberikan penanganan kepada penderita.
Semakin cepat dideteksi, maka semakin cepat juga penyakit itu bisa diredam indeks area dan keparahan psoriasisnya agar tidak menjadi sistemik menyerang organ vital dalam tubuh.
Dokter spesialis kulit dan kelamin (dermatologi, venereologi dan estetik/DVA) Ariana mengungkapkan penanganan medis yang dilakukan dalam kasus psoriasis terlebih dahulu dengan diperiksa secara langsung oleh dokter spesialis DVA.
Dokter kemudian menentukan persentase skor indeks area dan keparahan psoriasis (pasi).
dr Ariana Sp.DVA menjelaskan, pengobatan penyakit tersebut dilakukan secara bertahap, di antaranya melalui pemberian obat berupa salep yang dioleskan pada area terdampak.
Selain itu, tahapan berikutnya apabila belum membaik, berupa kombinasi obat oles dan obat oral hingga penanganan lanjutan di antaranya terapi biologic agent melalui pemberian injeksi.
Tentunya pengobatan itu tidak bisa dilakukan hanya sekali, namun perlu rutin dilakukan menyesuaikan petunjuk medis.
Dokter yang meraih spesialis DVA dari Universitas Diponegoro (Undip) 20 tahun lalu itu menambahkan perawatan dari pasien secara mandiri juga diperlukan, di antaranya dengan merawat kelembaban kulit, salah satunya menggunakan minyak kelapa murni.
Dokter yang membuka praktik di Erha Clinic Denpasar dan Rumah Sakit Kasih Ibu Denpasar itu menambahkan penderita perlu selektif dalam menggunakan sabun yang mengandung bahan kimia berlebihan untuk meminimalkan dampak kepada psoriasis.
Stigma negatif
Psoriasis tidak hanya menyerang fisik, namun juga kondisi psikologis penderitanya.
Para penyintas psoriasis kerap kali mendapatkan stigma negatif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya kondisi khas terhadap kulit, para penyintas psoriasis sering dianggap sebelah mata oleh orang-orang di sekitarnya.
Chiara Lionel Salim, menjadi salah satu penyintas psoriasis yang menderita penyakit itu sejak kecil. Bahkan, hingga saat ini ia masih berjuang karena masih ada lesi di kakinya.
Memiliki latar belakang keluarga yang mendukung penuh, ia pun mendirikan kanal dan komunitas daring Psoriasis Indonesia.
Hingga saat ini, sudah ada sekitar 18 ribu anggota secara daring yang menjadi ajang saling menguatkan dan berbagi pengalaman penyintas dan pejuang psoriasis.
Ada juga wanita muda dari Bali, Gek Ani yang juga menjadi pejuang psoriasis dan mendirikan komunitas di Pulau Dewata.
Pengalaman buruk mengidap psoriasis membuat dirinya sempat menutup diri karena sering mengalami perundungan, sehingga sempat merasa bahwa dunia yang ia miliki sudah berakhir.
Meskipun demikian, ia bertekad untuk maju dan mendirikan komunitas serupa di Bali untuk memberikan penguatan dan mengubah pola pikir bahwa mereka juga bisa berkontribusi positif dan menjalani hidup lebih baik.
Berangkat dari stigma negatif itu, perusahaan dermatologi Erha mengadakan edukasi di sejumlah kota di Tanah Air, termasuk di Denpasar, Bali, kepada para penyintas psoriasis untuk membantu mengendalikan penyakit tersebut.
Chief Corporate Affaris Officer Arya Noble Group (ERHA) Andreas Bayu Aji menjelaskan dalam program edukasi itu, para penyintas diajak dalam interaksi sosial, yakni saling berbagi pengalaman dan saling menguatkan.
Pasalnya, penyintas psoriasis rentan mengalami diskriminasi dari masyarakat karena kondisi yang khas di kulit penyintas.
Dalam edukasi juga diberikan konsultasi langsung dengan para dokter spesialis kulit dan kelamin (SpKK/DVA), termasuk melakukan yoga yang membantu mengelola emosi dan stres, karena stres berperan memicu penyakit tersebut kambuh.
Yoga dinilai dapat membantu meringankan nyeri sendi, meningkatkan rentang gerak, serta mengendalikan stres melalui meditasi.
Selain stres, gaya hidup, infeksi tenggorokan, minuman alkohol, hingga cedera pada kulit juga berpotensi memicu psoriasis bisa kambuh.
Bersosialisasi dengan sesama pasien sangat membantu untuk membangun kepercayaan diri dengan kondisi yang mereka alami.
Stigma negatif psoriasis juga mendorong tidak banyak penderita yang terbuka, sehingga pendataan jumlah kasus psoriasis itu pun masih belum diketahui pasti.
Namun dari kegiatan edukasi tersebut dihadiri oleh sekitar 40 penyintas psoriasis di Bali, yang tentunya data tersebut belum merepresentasikan akurasi.
Penanganan psikologis
Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Bangli, Bali Made Wedastra menilai stigma negatif psoriasis memberikan pengaruh kepada psikologis penderita salah satunya berpotensi mengalami depresi.
Apabila ditangani psikiater, penanganan yang diberikan di antaranya dengan memberikan penguatan melalui edukasi berupa psikoedukasi baik kepada pasien dan keluarganya agar ada pemahaman lebih baik terkait penyakit tersebut.
Selain itu, psikiater jebolan Universitas Udayana (Unud) Bali itu juga memberikan psikoterapi terutama terapi perilaku kognitif untuk menanamkan pemahaman positif dalam pola pikir pejuang psoriasis.
Penguatan juga dilakukan dengan meregulasi emosi, sehingga emisi dapat dikendalikan dan meningkatkan rasa percaya diri.
Harapannya, produktivitas meningkat dan tetap berkarya tanpa ada stigma buruk.
Mereka harus bersahabat dengan penyakit itu, mengenali gejala yang muncul dan tahu perilaku apa yang harus dilakukan saat gejala muncul, katanya.
Edukasi memiliki peranan penting untuk mengubah stigma negatif menjadi berdampak positif, tak hanya kepada kondisi psikis penyintas psoriasis tapi juga keluarga dan lingkungan sekitar, sehingga bisa saling menguatkan dan bersama menghadapinya.