Sosok seniman sastra yang penuh daya kreativitas itu memiliki suara emas dalam mengumandangkan ayat-ayat suci agama Hindu, berupa kekawin, kekidung dan jenis metembang lagu daerah Bali lainnya.
I Made Degung (70), pria kelahiran Banjar Tengah, Desa Sibetan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem tahun 1944 itu mempunyai andil dalam mengembangkan dan melestarikan seni budaya Bali, khususnya menulis di atas daun lontas.
Meskipun hanya seorang petani salak, namun memiliki bakat yang cukup menonjol dalam bidang seni, selain seni sastra juga seni tari dan seni kerawitan, namun yang paling menonjol adalah seni sastra, termasuk salah seorang penggagas Utsawa Darma Gita tingkat Kabupaten Karangsem. tutur Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Ketut Suastika.
Sosok I Made Degung merupakan salah seorang dari sembilan seniman Bali yang mendapat anugrah Seni Darma Kusuma, penghargaan tertinggi dalam bidang seni dari Pemerintah Provinsi Bali yang diserahkan Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Pemprov Bali dalam memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-56 pertengahan Agustus lalu memberikan penghargaan tertinggi kepada sembilan seniman utusan dari delapan kabupaten dan satu kota di Pulau Dewata.
Kesembilan seniman yang dinyatakan lulus seleksi oleh satu tim itu telah mampu menunjukkan prestasi, dedikasi dan pengabdiannya secara terus menerus tanpa putusasa.
Darma Kusuma berapa satya lencana menyerupai ornamen Siwa Nataraja yang melambangkan manivestasi Dewa Siwa sebagai penari tertinggi yang menciptakan dunia lewat tari dibuat dari emas seberat 20 gram dengan kadar 23 karat.
Siwa Nataraja itu pula yang menjadi lambang Pesta Kesenian Bali (PKB), aktivitas seni tahunan yang digelar secara berkesinambungan di Pulau Dewata sejak 36 tahun silam yang mampu mencerminkan kebesaran seni budaya Pulau Dewata.
Satya lencana disertai penghargaan dan sejumlah uang tunai itulah yang diberikan kepada sembilan seniman dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali yang dinilai berjasa dalam menggali, pengembangkan dan melestarikan seni budaya Bali dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Sosok I Made Degung secara aktif ikut terlibat dalam proses pembinaan mulai dari tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten. Banyak anak didiknya kini sukses dalam meraih prestasi di bidang sastra daerah.
Suami dari Ni Ketut Sutarmi dalam aktivitas kesehariannya menekuni seni sastra sejak usia muda hingga kini telah menghasilkan belasan karya sastra yang cukup memasyarakat dalam kehidupan masyarakat Bali, khususnya di ujung timur Pulau Bali.
Karya sastra itu termasuk di antara yang kini menjadi koleksi dan pegangan di Fakultas Sastra Universitas Udayana, tutur I Gede Sukasari, SST, Kabid Seni Budaya pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem.
Karya-karya seni sastra itu tercipta berkat ayah dua putra itu memiliki kecintaan dan kepedulian terhadap pelestarian warisan seni budaya bangsa yang merupakan puncak-puncak dari seni-seni budaya daerah.
Kesenangannya sejak kecil itu dijadikan tuntunan, yang mampu memberikan ketenangan batin, sekaligus melengkapi kegiatan ritual yang digelar masyarakat dalam lingkungan desa adat maupun di Pura.
Tabuh klasik
I Made Degung yang tampak sehat pada usia senjanya itu dalam aktivitas kesehariannya juga mendalami musik tradisional Bali (gamelan) yakni tabuh-tabuhan klasik yang berkaitan dengan kegiatan ritual yang digelar masyarakat setempat.
Ayah dari I Wayan Sutawa dan I Made Santika itu semakin intensif mendalami sastra daerah Bali untuk ditularkan kepada masyarakat sekitarnya, khusus generasi muda agar menjunjung tinggi nilai-nilai norma dan etika.
Karya-karya sastra yang dihasilkan antara lain menyangkut gending-gending yang mengandung nilai budi pekerti serta pesan-pesan moral. Hal itu pula yang mengantarkan dirinya begitu disegani masyarakat sekitarnya.
Berkat dedikasi, pengabdian dan prestasi dalam mengembangkan seni budaya Bali, sosok I Made Degung juga pernah mendapat penghargaan dari Pemerintah berupa piagam Sastranugraha pada tahun 2006.
Meskipun usianya sudah "senja" namun tetap aktif melatih dan membina generasi muda untuk memenuhi seni sastra, dengan harapan gending-gending Bali tetap lestari di tengah impitan pengaruh budaya asing di tengah perkembangan sektor pariwisata Bali yang pesat.
Proses pendidikan non-formal itu mampu memudahkan bagi generasi muda dalam mempelajari pembacaan ayat-ayat suci agama Hindu serta mendalami parwa dan jenis pustaka lainnya dalam bentuk sloka dan Palawakya.
Semua itu berkat bimbingan dan kerja keras dari I Made Degung untuk melestarikan seni budaya Bali kepada anak-anak muda. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dari segi finansial, namun sangat getol mempelajari dan menekuni sastra daerah Bali, khususnya kesusastraan Bali klasik.
Belajar dari sejumlah lontar yang diwarisi dari leluhurnya mampu menularkan kepada masyarakat lingkungannya, disamping aktif dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan.
Meskipun usianya semakin "senja", namun kreativitas, khususnya dalam bidang seni sastra, justru semakin mantap dan menambah tekadnya untuk lebih memberikan perhatian khusus terhadap pelestarian dan pengembangan sastra daerah Bali.
Semua itu, diharapkan dapat diwariskan kepada generasi mendatang, dengan harapan seni budaya Bali tetap kokoh dan berkembang di tengah pesatnya sektor pariwisata. (WRA)