Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan Dibia mengatakan setiap seniman atau lulusan lembaga pendidikan tinggi ingin menghasilkan karya cipta yang "metaksu" yakni mampu memukau dan menarik perhatian penikmatnya.
"Namun untuk mendapatkan taksu (kharisma) dibutuhkan suatu perjuangan yang tidak ringan, yakni harus mampu menguasai ketiga komponen `taksu` yakni fisik, mental dan spiritual serta menyatukannya dalam setiap aktivitas seni," kata Prof Dibia yang juga seniman andal yang banyak menghasilkan karya-karya monumental di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan dedikasi tinggi terhadap bidang seni yang digeluti itu akan mampu membawa seseorang untuk lebih cepat bisa mencapai taksu.
"Sikap satyam (satya) yang mencakup kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan penentu bagi keberhasilan untuk mendapatkan atau pencapaian taksu," ujar Dibia.
Dibia mengutip ungkapan seorang pemimpin ritual keagamaan umat Hindu Ida Pedanda Gede Putra Singarsa bahwa semua upaya untuk mendapatkan "taksu" akan sia-sia, jika seseorang tidak bersikap jujur, tidak tulus, dan tidak mau berkonsentrasi penuh pada bidang yang ditekuni.
"Apabila tidak ada lagi kejujuran, ketulusan, dan kesungguhan pada seseorang, maka taksu yang ada pada dirinya akan melecat," katanya.
Kejujuran atau satyam yang sangat dibutuhkan dalam upaya pencapaian "taksu", termuat dalam sloka 128 (dalam bahasa Jawa Kuno) Kitab Sarasamuscaya. Aktivasi "taksu" sangat dibutuhkan dalam pembenahan iklim akademik di perguruan tinggi.
Dibia menjelaskan sikap satyam (satya) akan mendorong tumbuhnya kejujuran akademik pada setiap insan perguruan tinggi. Jika kejujuran akademik telah terbangun maka sebuah lembaga perguruan tinggi akan terbebas dari segala perbuatan yang melanggar norma-norma akademik seperti plagiat dan perbuatan melenggar hukum seperti korupsi.
Pendidikan seni yang holistik, diarahkan kepada pencapaian "taksu" sangat sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yakni membangun manusia cerdas dan beretika, ujar Prof Dibia. (WRA)