Puluhan ibu rumah tangga menggoreskan tangan di atas kanvas menciptakan warna menyerupai satu bentuk atau simbul yang kaya akan makna, mampu menggambarkan keindahan dan kedamaian.
Jiwa seni yang diwarisi masyarakat Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, Bali, itu diwariskan kembali kepada anak cucunya sehingga lukisan klasik Bali atau yang lebih dikenal lukisan gaya kamasan itu tetap lestari, diwarisi satu generasi ke generasi berikutnya.
Sebanyak 17 mahasiswa University of Western Australia (UWA) yang didampingi Prof. Dr. Paul Trinidad belajar di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar menyempatkan diri melihat dari dekat aktivitas para seniman di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung.
Selain itu, juga sempat mengadakan pertemuan dengan Bupati Klungkung Nyoman Suwirta yang membahas berbagai hal khusus dalam bidang seni dan budaya.
Prof. Paul Trinidad selaku koordinator ISACFA dari UWA mengatakan bahwa dosen dan mahasiswa sangat kagum dengan lukisan gaya kamasan.
Kunjungannya ke Desa Kamasan merupakan bagian dari tanggung jawab pendidikan sehingga sekembalinya ke Australia mampu berbagi dan menceritakan tentang apa yang telah didapat dari kunjungan kebudayaan itu.
"Mempelajari lukisan Kamasan tentu sulit, tetapi juga menantang," kata Trinidad.
Ia merasa bangga karena anak didiknya mendapat kesempatan melukis wayang saat berkunjung ke Desa Kamasan itu.
Bupati Suwirta mengemukakan bahwa sejarah Kabupaten Klungkung dan memperkenalkan berbagai objek wisata di daerahnya, termasuk Desa Kamasan.
"Kami berharap kepada para mahasiswa Western University nanti menceritakan pengalamannya kepada teman-teman di Australia sehingga mereka tertarik untuk datang ke sini," harap Bupati Suwirta.
Kamasan adalah salah satu desa di Kabupaten Klungkung, Bali yang memiliki nilai historis karena salah seorang warganya, Ida Bagus Gelgel (almarhum), seniman serba bisa pernah mendapat penghargaan seni dari pemerintah Prancis pada tahun 1930.
Penghargaan dunia internasional itu, diraihnya berkat keahlian menciptakan karya seni yang bermutu di atas kanvas saat yang bersangkutan mengadakan pameran ke beberapa negara di belahan dunia.
"Berkat promosi lewat pameran perdana seniman Bali ke mancanegara itu, Pulau Dewata mulai dikenal dan sejak saat itu pula, seniman asing berdatangan dan memilih kawasan Ubud, tempat untuk mengembangkan kreativitas seni," tutur Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Drs. I Ketut Murdana, M.Sn.
Klungkung, khususnya Desa Kamasan merupakan cikal bakal pengembangan seni lukis tradisional di Bali karena 84 tahun silam hasil kreativitas seniman setempat sudah mampu berbicara di tingkat nasional maupun internasional.
Namun, dalam perkembangannya seni lukis Klungkung, khususnya Desa Kamasan tetap tampil dengan ciri khas tradisional, yakni lukisan wayang Kamasan, kurang mampu mengikuti perkembangan seni lukis yang berkembang pesat di perkampungan seniman Ubud, tutur Murdana yang juga seniman andal dalam bidang lukis.
Kekuatan Seni Budaya
Bali mengalami kemajuan dan perubahan. Namun, nilai seni budaya daerah tetap lestari serta menjadi kekuatan bagi masyarakat pendukungnya dalam mengembangkan berbagai usaha, khususnya industri kecil dan kerajinan rumah tangga, yang kini menjadi tulang punggung perolehan ekspor nonmigas.
Demikian pula, pergeseran nilai-nilai budaya akibat kontak dengan dunia luar, tidak menjadi masalah bagi masyarakat Pulau Dewata. Kondisi demikian justru sebaliknya, masyarakat mancanegara kagum atas kemampuan masyarakat Bali mengembangkan dan melestarikan seni budaya sebagai salah satu daya tarik wisata.
Seni budaya Bali yang cukup dikagumi dunia internasional itu, seharusnya juga menjadi kebanggaan masyarakat pendukungnya di Pulau Dewata.
Menurut Murdana, karya seni lukis menjadi salah satu sumber daya masyarakat yang mampu mengangkat dan mengharumkan Bali di tingkat nasional maupun internasional. Banyak pelukis-pelukis Bali muncul dengan mengusung bendera seni lukis Bali sebagai sebuah proses kreatif unggulan.
Proses kreatif seni kanvas tersebut berdampak positif terhadap pengembangan seni budaya, membangun sosial ekonomi masyarakat, serta martabat seniman di forum internasional. Keunggulan seni lukis Bali dikaji dari sudut tata nilai yang dilakukan untuk keyakinan bagi komoditas pendukung sekaligus diapresiasikan secara baik oleh masyarakat luas.
Pembelajaran seni lukis Bali melalui jalur formal dan informal, yang keduanya secara terpadu mampu membangun identitas tersendiri. Melalui jalur formal seni lukis ditempatkan sebagai salah satu minat utama, di samping seni patung.
Dalam karaktristik pengembangan seni lukis dihadapkan pada persoalan identitas peta seni lukis dunia, terutama seni lukis barat yang pengaruhnya telah melanda dunia. "Kita dihadapkan pada arus besar untuk membangun dan mengembangkan identitas yang diharapkan dapat bersaing," ujar Murdana.
Pengembangan potensi lokal yang ditetapkan dalam kurikulum lembaga pendidikan formal, seperti ISI Denpasar, mampu memberikan peluang besar dalam membangun identitas meskipun tidak mungkin bisa dijawab dalam waktu singkat.
Langkah-langkah dan potensi perlu dipersiapkan dan digarap sejak dini, yang memungkinkan untuk dikompetisikan di tingkat internasional, salah satunya seni yang ditempatkan pada urutan terdepan setelah bidang-bidang ilmu lainnya.
Beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi seni lukis Bali telah mampu berbicara lintas budaya, lintas bangsa, dan membawa citra tersendiri bagi Bali dan Indonesia umumnya.
Pengaruh Warga Asing
Menurut Murdana dua seniman warga negara asing masing-masing Walter Spies dan Rodulf Bonnet mempunyai pengaruh sangat besar terhadap perubahan karya-karya pelukis di Pulau Dewata.
Walter Spies, warga negara Jerman, dan Rodulf Bonnet, warga negara Belanda, yang secara kebetulan menemukan inspirasi dalam merampungkan karya seni memunculkan kebebasan kreatif kepada seniman setempat.
Perubahan karya-karya seniman Bali dari seni lukis klasik ke kebebasan kreatif maupun perluasan tema terjadi sejak 1929. Kedua seniman asing yang menyatu dalam kehidupan masyarakat Bali, bergabung dengan organisasi kelompok pelukis dan pematung Pita Maha Ubud.
Kedua seniman asing itu memberikan dorongan kepada seniman Bali untuk bersaing jati diri dalam menghasilkan karya seni yang baru. Identitas karya seni merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk pewayangan dengan gerak yang lebih dinamis mendekati bentuk realistis daripada "pakem-pakem" seni lukis klasik Bali.
Munculnya unsur-unsur anatomi plastis, sinar, dan perspektif berkembangnya tema kehidupan sehari-hari dari sistem pewarnaan yang baru, tutur Murdana.
Tokoh pelukis yang muncul saat itu, antara lain Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gede Sobrat, Ida Bagus Made, Gusti Made Deblog, Gusti Ketut Kobot, dan I Gusti Nyoman Molog. Sementara itu, di Desa Batuan, Gianyar muncul gaya lukisan yang berbeda, yakni objeknya penuh sesak, tanpa ada ruang kosong sedikitpun, bentuknya ke kanak-kanakan tanpa perspektif.
Warna lukisan hitam putih yang amat pekat, menampilkan kesan magis, sehingga karya kanvas seniman dari Batuan menunjukkan karakter magis yang sangat kuat berbeda dengan kelompok Ubud meskipun Rudolf Bonet dan Walter Spies sering bergaul ke Batuan. Namun, pengaruh karya-karya kedua seniman asing itu tidak tampak sama sekali, ujar Murdana.
Rektor ISI Denpasar Dr. Arya Sugiharta, S.S.Kar., M.Hum. mengharapkan mahasiswa UWA seusai mengikuti program pertukaran itu mampu memahami budaya Bali secara lebih mendalami.
Program tertukaran mahasiswa ISI-UWA dapat terlaksana berkat kesuksesan Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ISI Denpasar menyelenggarakan program pertukaran kebudayaan yang lebih dikenal dengan "International Studio for Arts and Culture FSRD-ALVA" (ISACFA).
UWA telah mengirim mahasiswanya belajar ke ISI Denpasar secara berkesinambungan dua kali dalam setahun, yakni pada bulan Januari dan Juni. (WRA)
Mahasiswa Uwa Kagumi Lukisan Wayang Kamasan
Sabtu, 25 Januari 2014 21:35 WIB