Denpasar (Antara Bali) - Arca perwujudan raja dan dewa yang berkembang pada zaman kerajaan Erlangga sampai zaman Singasari dikeramatkan di Pura Pejeng, Kabupaten Gianyar, Bali.
"Hal itu menunjukan pertanda nyata pengaruh sekterian di Bali," kata praktisi dan pelaku seni di Bali, Anak Agung Gede Rai di Denpasar, Rabu.
Ia memaparkan bahwa seni ikonografi yang menghasilkan jenis ekspresi arca dewa-dewi dengan wajah serta busana yang khas lebih menampakkan kesan magis monumental dengan komposisi statis dalam suasana serba gaib-pengaruh Majapahit.
Tampilan aura sebagai lambang kesaktian atau sifat kedewataan adalah salah satu petunjuk dari ikonografi baru dalam seni patung Majapahit yang kemudian tampil kembali pada lukisan tradisional Bali maupun lukisan wayang Kamasan.
"Ragam hias dekoratif seperti patra jae, patra punggel, patra Tiongkok, patra olanda, patra mesir, patra wangge dalam perbendaharaan ragam hias Bali, membuktikan adanya hubungan bangsa-bangsa Asia, Afrika, Eropa di masa lalu yang berlangsung khas, terbuka dan kondusif untuk proses berkesenian," ujar Agung Rai.
Nuansa modern
Perkempungan seniman Ubud sejak tahun 1920 an telah mengembangkan satu motif wayang baru, dimana pakem ikonografis wayang yang demikian ketat mengurai ke pakem personal.
Tema yang tetap diangkat dari Kisah Ramayana, Mahabrata, namun dalam konsepsi seni ritual seperti rerajahan, tumbal tetap dipertahankan. Corak wayang baru nampaknya dirintis oleh Tjokorda Oka Gambir dari Puri Peliatan setelah belajar gambar di Banjarangkan, Klungkung.
Teknik, warna alam, dan prinsip-prinsip seni lukis Wayang tetap dipegang. Motif wayangnya lebih realistis dengan garis arsiran rapi, mantap dan tetap memakai warna alam seperti gambar wayang menghias busana pura dan benda-benda yang disakralkan lainnya.
"Tjokorda Gambir sempat berbagi pengalaman dan pandangan dengan Walter Spies dan Bonnet, seniman asing yang bermukim di Ubud sebelum lembaga Pita Maha (1936) dibentuk. Demikian juga rekan-rekannya seperti Baret, Kobot, Turas, Ida Bagus Made dan Gerudug melakukan hal yang sama sehingga tumbuh variasi corak personal pada generasi 1980-an. Kondisi itu di Ubud sangat dipengaruhi oleh kegeniusan Lempad mengolah ilham seni pahat relief Yeh Pulu, yang mengalir lewat jari-jari ke kesan garis tinta Tiongkok yang kuat.
Meskipun demikian sangat sederhana terkesan kosong, namun padat berenergi seperti mengubah citra wayang menurut selera pribadi sehingga melahirkan gaya Lempad yang sangat personal.
Dengan demikian karya-karyanya sangat anggun, keramat dan berkarakter. Kepiawaian olahrasa hingga kini tidak tertandingi termasuk oleh cucundanya Sudara.
"Dalam karya, kedua maestro itu sering membubuhkan nama dalam karya, tidak seperti wayang Kamasan yang komunal sifatnya. Kedua maestro Ubud ini sepertinya imun terhadap pengaruh Walter Spies dan Bonnet," ujar Agung Rai. (WDY/i018)