Denpasar (Antara Bali) - Ketua Himpunan Museum Bali (Himusba) Anak Agung Rai menilai, pencapaian reputasi artistik karya seni erat kaitannya dengan mata rantai sejarah yang melingkupunya.
"Seni budaya Bali bergerak dinamis dalam masa, informasi dan ruang gerak yang semakin terbuka lebar secara nasional dan global," kata Agung Rai yang juga pendiri dan pengelola Museum Arma di perkampungan seniman Ubud, Kabupaten Gianyar, Rabu.
Ia mengatakan, bukti warisan masa lalu sebagai pengenalan sumber inspirasi seni budaya dengan kandungan harta kerohanian yang senantiasa "hidup" tersebar di Sungai Petanu dan Pekerisan Bedahulu, Pejeng, Kabupaten Gianyar.
"Relief Yeh Pulu, Budulu misalnya menampilkan bentuk manusia realistis dengan atribut hiasan mirip tradisi Khmer (Kamboja)," ujar Agung Rai pada kata sambutan penerbitan buku
"Lempad for the world".
Peluncuran buku tersebut dilakukan bersamaan dengan pameran 160 karya karya almarhum I Gusti Made Lempad dan keluarganya di perkampungan seniman Ubud selama sebulan, 27 Juli-28 Agustus 2014.
Agung Rai menjelaskan, warisan budaya Bali itu menyiratkan adanya peneybaran budaya Eropa, India, Kamboja, Jawa yang kemudian terserap pada kearifan lokal Bali.
Bali menandakan masa akhir masa akhir puncak kekuasaan Majapahit di Jawa sekitar abad ke-14 atau melejitnya zaman keemasan seni era Watu Renggong Gelgel.
Pemahat kuno memiliki teknis kerja dan proses yang matang serta cermat dari bentuk figur manusia mirip sebenarnya, anatomis dengan sikap manusiawi dan sangat realistis.
Dengan demikian menurut Agung Rai pengolahan bentuk dan komposisi dalam pendekatan narasi mengungkapkan kesusastraan dan peristiwa sezaman melalui kiasan, menginpirasi identitas, gaya, bentuk dan makna pada karya lukis almarhum I Gusti Nyoman Lempad.
I Gusti Nyoman Lempad yang meninggal pada tahun 1978 dalam usia 120 tahun adalah seniman perintis seni lukis Bali baru, dengan kegeniusannya mampu mengolah ilham cerita efik Hindu dan cerita rakyat yang mengalir lewat jari-jari ke kesan garis tinta Tiongkok yang kuat, sederhana namun padat berenergi.
Agung Rai yang mengoleksi sejumlah karya Lempad itu melihat sosok Lempad mampu mengubah citra wayang menurut selera pribadi sehingga melahirkan styele Lempad yang sangat personal, anggun, keramat dan berkarakter.
Kepiawaian olah rasa Gusti Made Lempad hingga sekarang tidak ada yang menandinginya. Seni rupa Bali mengalami interaksi antara Timur Barat merebak di seputaran tahun 1930 tanpa ada unsur menggurui seniman Peliatan, Ubud dan Batuan berintegrasi dengan Barat melalui Walter Spies (1893-1942) dan Bonnet (1985--1978), warga negara asing yang pernah bermukim di Ubud.
Seniman asing tersebut mengapresiasi karya seniman lokal, membuka diri untuk sharing teknik, pengetahuan baru tanpa ada kesan saling menggurui. Kegiatan pameran lukisan di sejumlah kota di mancanegara dalam wadah Pitamaha pada tahun 1936, terlihat dalam eksplorasi Lempad yang secara jenius mengembangkan interpretasi terhadap teks mitologi Hindu.
Dalam penghayatan visualnya yang realistik berintegrasi dengan seniman barat tidak menjadikannya melepaskan tradisi fsm identitas budaya Bali, justru sebaliknya menguatkan warisan budaya dengan eksplorasi artistik yang sangat kental identitas personalnya, ujar Agung Rai.(WRA)