Denpasar (Antara Bali) - Berlakunya Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15/2013 tentang Pedoman Kampanye Pemilu Legislatif belum sepenuhnya dipatuhi para calon anggota legislatif lintas partai politik di Pulau Dewata.
Hingga sekarang masih banyak calon legislatif lintas parpol yang belum mau mencopot alat peraga kampanye, terutama baliho berukuran besar di tempat-tempat stategis di delapan kabupaten dan satu kota di Bali.
Meskipun Ketua Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bali Ketut Rudia mengharapkan para calon anggota legislatif dapat mematuhi ketentuan pemasangan alat peraga kampanye sesuai ketentuan dan zona yang telah disepakati bersama.
Bahkan mempertanyakan tingkat kesadaran calon pemimpin yang akan menjadi wakil rakyat, karena untuk pemasangan alat peraga saja melanggar, bagaimana sikapnya nanti jika sudah benar-benar terpilih.
Oleh sebab itu calon legislatif lintas parpol dapat meningkatkan kesadaran dan kepatuhan sejak awal dapat menjadi teladan dan contoh bagi masyarakat.
Ketut Rudia khawatir kebiasaan buruk ini bisa berimplikasi pada ketidaktaatan calon yang bersangkutan jika terpilih menjadi wakil rakyat, baik di DPRD kabupaten/kota di Bali, anggota DPR-RI dan DPD RI nanti.
Hal itu penting disadari, karena seluruh tahapan Pemilu tidak sekadar mekanisme belaka, tetapi juga mengandung unsur pendidikan dan kepatuhan peserta pemilu dalam menaati seluruh aturan main.
Jika saja dalam proses pemilu sudah ada partai politik, calon anggota DPR, DPRD dan DPD yang terang-terangan melanggar, bukan tidak mungkin setelah mereka terpilih juga tidak melakukan pelanggaran.
Oleh sebab itu sangat pentingnya kesadaran hukum, kesadaran politik, kesadaran etika dan moral calon pemimpin di negeri ini. Perilaku calon selama dalam proses kampanye adalah cerminan prilaku dari calon yang bersangkutan.
Waktu kampanye yang cukup panjang bagi calon tidak saja menguntungkan partai politik dan calon legislatif tetapi juga menguntungkan bagi masyarakat pemilih.
Tahapan kampanye yang begitu panjang waktunya sekaligus menjadi momentum bagi pemilih dalam memilah mana calon legislatif yang taat dan mana yang tidak, ujar Ketut Rudia.
Tergantung Imbalan
Pengamat politik Gede Sudibia menilai kesadaran masyarakat dalam berpolitik kini tidak lagi berdasar hati nurani, namun tergantung imbalan atas hak suara yang hendak disalurkan.
Kondisi demikian menimbulkan biaya politik yang sangat mahal sehingga bagaimana pun yang terpilih, baik dalam pilkada maupun pemilu legislatif akan berusaha mengembalikan biaya yang dikeluarkannya selama menjabat.
Hal itu didasarkan atas hasil penelitian yang menunjukkan bahwa masyarakat yang menggunakan hak politiknya, sekitar 76,6 persen karena mendapat imbalan.
Kondisi itu meningkat dari lima tahun sebelumnya yang tercatat 49,7 persen sehingga menjadikan kegiatan politik itu semacam transaksi jual-beli suara seperti di pasar.
Kondisi itu mencerminkan ketidakpercayaan masyarakat menimbulkan biaya politik menjadi sangat mahal. Rendahnya kesadaran berpolitik itu telah menjadikan titik terendah dalam kehidupan berbangsa.
Hal demikian itu menjadi lingkaran setan yang menyebabkan merosotnya nilai-nilai demokrasi, dan korupsi yang terjadi secara rutin itu merupakan musuh dan menyengsarakan masyarakat,
Pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) hendaknya mampu menekan biaya politik semurah mungkin sehingga tidak ada beban yang terlalu berat setelah mereka terpilih.
Upaya itu antara lain membatasi kampanye di media massa, baik cetak maupun penyiaran, membatasi kegiatan yang berhubungan dengan kampanye "abu-abu", dan kegiatan lainnnya yang menghamburkan uang.
Semua itu memerlukan pengawasan secara ketat dari KPU serta pengawasan dan tanggung jawab dari partai yang lebih transparan. Tantangannya adalah bagaimana mampu menemukan solusi politik biaya tinggi dan pendidikan politik kepada masyarakat. Karena cara berpolitik sekarang ini ibarat masyarakat telah menggadaikan masa depannya.
Gede Sudibia yang juga konsultan manajemen ekonomi itu mengingatkan KPU untuk melakukan efisiensi biaya penyelenggaraan Pemilu 2014 maupun untuk pemilihan kepala daerah yakni bupati, wali kota dan gubernur.
Tantangan yang harus segera diselesaikan menyangkut biaya pemilu dapat ditekan semurah mungkin, karena pelaksanaan pemilu mulai dari pilkada hingga pemilu legislatif, pemilu presiden biayanya sangat mahal.
Biaya politik yang mahal itu menjadi stimulan kekuatan sehingga mereka yang memenangkan pilkada setelah menjadi bupati atau gubernur atau menjadi wakil rakyat di DPR, DPD dan DPRD akan berusaha mengembalikan biaya yang dikeluarkannya.
Untuk itu Pemerintah melalui KPU dapat melakukan berbagai cara untuk menekan politik biaya tinggi antara lain mempersingkat masa kampanye, pembatasan pemasangan baliho serta memperketat aturan kemungkinan terjadinya manipulasi menjual "kursi".
Patuhi Aturan
Ketua DPD PDIP Provinsi Bali Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi berjanji akan mematuhi peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2013 tentang Kampanye tersebut dan tidak mempermasalahkannya.
Dalam peraturan KPU itu menyebutkan bahwa peserta pemilu, yakni setiap parpol hanya dapat memasang satu baliho di setiap kelurahan di zona yang telah ditetapkan dan disepakati bersama.
Aturan itu harus dipatuhi semua partai politik peserta pemilihan umum, termasuk calon legislatif. Dengan aturan ini bisa saja caleg menghemat biaya yang dulunya dana untuk sosialisasi difokuskan untuk membuat puluhan baliho dan spanduk. Tetapi sekarang mau tidak mau harus bisa sosialisasi dengan pendekatan langsung ke masyarakat.
Selain itu tidak mengganggu keindahan Pulau Dewata, karena pemasangan baliho dan spanduk yang tidak tertata di salah satu zono yang disepakati justru menimbulkan kesemrawutan, ujar Oka Ratmadi.
Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Badung I Ketut Martha menjelaskan mengantisipasi kesemrawutan itu telah menertibkan puluhan alat peraga kampanye calon anggota legislatif di Kecamatan Mengwi karena dinilai telah melanggar kesepakatan bersama.
Penertiban dilakukan karena pemasangannya terkesan asal pasang dan bahkan beberapa di antaranya dipasang pada pohon perindang sehingga terkesan kumuh.
Penertiban dilakukan bersama tim gabungan dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP), Badan Kesatuan Bangsa dan Politik dan Perlindungan Masyarakat, Dispenda, KPUD Badung dan Panitia Pengawas Pemilu di Kecamatan Mengwi.
Penertiban itu sebenarnya kewenangan KPU dan Panwaslu, namun karena mengganggu keindahan dan terkesan kumuh sehingga dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi.
Upaya itu akan terus dilanjutkan dan mengharapkan parpol dan caleg menghormati hasil kesepakatan bersama dengan memasang alat peraga kampanye sesuai dengan aturan yang berlaku dan bukan memasang di sembarang tempat, tutur I Ketut Martha. (LHS)