Denpasar (Antara Bali) - Ketua Aliansi Masyarakat Pariwisata Bali Gusti Kade Sutawa membantah keras tudingan yang menyebutkan bahwa praktik gigolo merupakan salah satu daya tarik Pantai Kuta dalam mendatangkan wisatawan.
"Kami tidak sependapat dengan apa yang digambarkan dalam film 'Cowboys in Paradise', yang seolah-olah telah menjadikan gigolo sebagai sebuah daya tarik. Bali menjadi destinasi bukan karena itu," kata Sutawa yang juga pakar kepariwisataan ketika dihubungi ANTARA dari Denpasar, Selasa.
Dengan nada lantang, ia menandaskan bahwa Pulau Dewata mendapat pengharagaan sebagai destinasi terbaik di dunia bukan karena gigolo atau karena adanya praktik "lelaki tuna susila".
"Tidak. Sama sekali bukan karena itu, melainkan lebih karena Bali memiliki pesona alam, seni dan budaya yang begitu menarik dan unik di mata dunia," katanya geram.
Ditegaskan bahwa pariwisata yang diusung Bali adalah pariwisata yang berbasis budaya yang sama sekali bertolakbelakang dengan masalah praktik segelintir gigolo.
Terlepas dari itu, Sutawa mengakui bahwa pada setiap destinasi pariwisata tentu tidak saja memiliki dampak positif melainkan ada juga dampak negatifnya.
"Ada dampak negarif dan positifnya. Sekarang, ya... dampak negatif itulah yang harus dapat dikendalikan dan betul-betul dikontrol," ucapnya.
Sutawa yang juga ketua Eksecutive Club, asosiasi general manajer hotel area Kuta, Legian dan Seminyak itu menyebutkan, munculnya film "Cowboys in Paradise" diduga kuat memiliki suatu kepentingan dari pihak lain yang ingin menjatuhkan kepariwisataan Bali.
"Saya sih tidak tahu persis motif dari pembuatan film tersebut, tapi mungkin ada kepentingan pihak lain yang bertujuan merusak citra pariwisata kita," kata pengusaha yang biasa disapa Gus De (Gusti Kade).
Menurut Sutawa, dirinya yang sudah bertahun-tahun berada di Kuta, tidak pernah menemukan kalau di kawasan itu ada organisasi gigolo yang terindikasi menawarkan jasa layanan seksual secara fulgar.
"Yang ada adalah banyak tamu yang datang ke Bali kemudian kecantol pada mereka yang mencari nafkah di pantai. Kemudian mereka menjalin pertemanan selanjutnya jalan bareng selama berlibur di Bali," katanya.
Dia menduga dari kreativitas pertemanan tersebut kemudian banyak orang yang menafsirkan dan mengatakan telah menjadi "transaksi" layanan seksual di Pantai Kuta.
"Tafsiran seperti itu yang kemungkinan mengilhami produser film untuk membuat 'Cowboys in Paradise' yang menggambarkan Kuta sebagai ajang praktik para gigolo," katanya menjelaskan.
Kendati demikian, ia tetap berharap kepada pihak terkait untuk dapat meneliti dan mengetahui apa motif di balik pembuatan film tersebut.
Sementara Bendesa Adat Kuta Gusti Ketut Sudira senada mengatakan bahwa pariwisata Kuta tumbuh bukan karena adanya praktik gigolo.
"Kuta dikenal bukan karena gigolo, melainkan karena keindahan pantai dan juga budayanya," ujarnya dengan nada tinggi.(*)
Praktik Gigolo Bukan Daya Tarik Pantai Kuta
Selasa, 27 April 2010 16:44 WIB