Denpasar (Antara Bali) - Aliansi Jurnalis Independen memandang pemilik lembaga penyiaran rentan mengemplang pajak ketika menayangkan iklan-iklan politik terkait kepentingan pribadi dan partai politiknya.
"Kalau mereka mengatakan penayangan siaran yang dapat memengaruhi pandangan politik masyarakat itu bentuknya sebagai iklan, maka mereka harusnya membayar pajak. Inilah yang perlu dibuka pada publik apa benar tokoh-tokoh politik yang juga pemilik media sudah membayar pajak," kata Dewan Etik AJI Indonesia Eski Suyanto, di Denpasar, Kamis.
Eski yang juga mantan anggota KPI Pusat itu melihat pengaruh politik lewat lembaga penyiaran tidak hanya dalam bentuk iklan dan pemberitaan, bahkan sudah mengarah pada tayangan hiburan (infotainment) dan bahkan tidak mungkin ke depan tokoh-tokoh politik juga dapat tampil tayangan sinetron.
"Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran sebenarnya sudah jelas diatur bahwa lembaga penyiaran tidak boleh dipakai untuk kepentingan golongan dan individual karena mereka menggunakan saluran dan frekuensi publik. Namun, faktanya tetap saja dipakai, terlebih karena mereka merasa memiliki media," ucapnya pada diskusi publik yang bertajuk "Demokratisasi Penyiaran dan Pemilu 2014" itu.
Menurut dia, para tokoh politik yang juga pemilik media semakin lihai menyiasati aturan terkait kampanye supaya dikatakan tak melanggar aturan KPU. Jadi, ketika menyampaikan iklan politik mereka tidak menampilkan visi misi, nomor urut dan gambar menjadi satu kesatuan.
"KPI sempat beberapa kali memanggil pihak stasiun televisi menanyakan terkait iklan-iklan politik tersebut dan mereka memberikan penjelasan bahwa meskipun yang muncul adalah pimpinan media bersangkutan, tetapi mereka juga mempunyai kewajiban membayar iklan. Benarkah mereka membayar pajak? Inilah yang perlu ditelusuri lebih jauh ke institusi pajak," ujarnya.
Ia menyarankan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Penyiaran Indonesia, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus duduk bersama membuat aturan yang lebih tegas terkait larangan dalam penyiaran tayangan politik, terlebih sekarang hingga setahun ke depan merupakan tahun-tahun politik.
Sementara itu Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Bali Komang Suarsana menilai semua lembaga penyiaran di Tanah Air memang tidak ada yang dapat dikatakan independen 100 persen karena di balik kepemilikan media pastinya ada agenda setting masing-masing.
"Tetapi mohonlah dijaga terutama yang menyangkut kaidah-kaidah pemberitaan, keberimbangan dan objektivitas itu harus menjadi perhatian sehingga dapat membuat masyarakat lebih cerdas dalam menyikapi perkembangan pemilu," katanya.
Menurut dia, jangan masyarakat dicekoki oleh kepentingan pihak atau kelompok tertentu dan kemudian menggiring untuk memilih pihak-pihak tertentu.
"Lembaga penyiaran itu menggunakan frekuensi milik publik, jadi seharusnya penggunaannya menguntungkan publik. Jangan sampai lembaga penyiaran akhirnya terjebak tidak independen," katanya.
Khususnya di Bali, yang selalu menjadi pengaduan masyarakat adalah ada lembaga penyiaran yang tidak berimbang dalam menayangkan pemberitaan, iklan dan program lainnya terkait politik.
"Pelanggaran juga pada durasi penayangan, padahal sudah diatur dalam ketentuan. Misalnya dalam satu slot iklan politik untuk televisi maksimal 30 detik dan radio maksimal 60 detik," ujarnya.
Pada diskusi publik yang digelar oleh Koalisi Untuk Demokratisasi Penyiaran Bali itu juga menghadirkan pembicara lainnya yakni Ketua KPU Bali Ketut Sukawati Lanang Putra Perbawa, akademisi Fisip Universitas Udayana Ni Made Ras Amanda, dan Ketua AJI Denpasar Rofiqi Hasan. (LHS)