Denpasar (ANTARA) - Anggota DPD RI Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra menggali pandangan dari ahli pariwisata di Bali untuk merefleksikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2025 tentang Kepariwisataan.
“Kita coba merefleksi apa hal-hal yang penting dalam perubahan undang-undang tersebut, banyak diperlukan pandangan-pandangan umum dari para ahli,” kata dia di Denpasar, Bali, Jumat.
Anggota Komite 3 DPD RI yang membidangi pariwisata itu menyoroti beberapa poin yang perlu dipahami agar saat diimplementasikan selaras dengan muatan undang-undang.
“Di sana ada transformasi antara industrialisasi yang dari mass tourism itu menjadi value, pariwisata yang bernilai atau ekosistem, berarti bukan hanya mengejar kuantitas tapi harus juga kualitas, dan juga paradigma pembangunan ini fokus kepada budaya dan juga manusianya,” ujar Rai Mantra.
Selain itu jika berangkat dari Undang-Undang Kepariwisataan yang baru perlu dipelajari juga pengaturan manajemen di destinasi pariwisata, jika di Bali kaitannya dengan desa wisata sebab senator asal Denpasar itu melihat banyak persoalan di sektor ini.
“Dan menyangkut juga masalah pemasaran digital, juga terkait kewenangan karena undang-undang ini mengatur kewenangan antara pusat dan daerah, ini menjadi hal yang sangat penting sekali bagi kita ketahui bersama terutama pelaku-pelaku pariwisata di Bali maupun nasional,” ujar Rai Mantra.
Dalam diskusi ini, DPD RI itu menggandeng Ikatan Alumni Universitas Udayana (IKAYANA) untuk mengambil kontribusi dari Bali terhadap kebijakan nasional.
Salah satu kasus Bali yang diambil seperti banyaknya wisatawan yang masuk sehingga kuantitasnya meningkat namun kurang seimbang dengan lahan dan infrastruktur yang ada sehingga kualitasnya menurun dan belum sejalan dengan misi undang-undang yang baru.
Persoalan lainnya seperti maraknya bangunan usaha di subak Jatiluwih yang merupakan situs Warisan Budaya Dunia (WBD) UNESCO yang belum lama disegel Pansus TRAP DPRD Bali dan Satpol PP Bali.
Rai Mantra sepakat dengan langkah pemerintah, namun undang-undang baru hasil revisi menyatakan pembangunan pariwisata fokus pada manusia dan budaya dimana budaya Jatiluwih lahir dari manusia di sana sehingga kekayaan subak terasering itu adalah aset yang tidak salah untuk dimanfaatkan.
“Jadi ada aset kepariwisataan yang dimiliki oleh kelompok atau komunitas orang disana, dia punya modal budaya, mereka itu punya saham di sana, sehingga harus ada stimulus mungkin berupa bebas pajak, subsidi, atau insentif dari pemerintah sebagai jalan tengah,” ujarnya.
