Denpasar (ANTARA) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Bali menyebutkan nasabah di Pulau Dewata memiliki kesadaran untuk berinvestasi karena pertumbuhan jumlah investor pasar modal hingga nilai transaksi saham yang menggeliat selama Januari-Agustus 2024.
“Kami lihat data investasi di SBN (surat berharga negara), kemudian reksa dana itu naik. Transaksi saham itu sumbernya dari tabungan juga. Jadi nasabah menyimpan di tabungan dulu,” kata Kepala OJK Provinsi Bali Kristrianti Puji Rahayu di Denpasar, Kamis.
Regulator lembaga jasa keuangan itu mencatat selama periode Januari-Agustus 2024, dana pihak ketiga (DPK) atau dana yang disimpan nasabah di Bali dan Nusa Tenggara mencapai Rp275,53 triliun atau naik 13,84 persen jika dibandingkan periode sama 2023 yang mencapai Rp242 triliun.
Apabila dibedah, komponen DPK di Bali mayoritas diisi oleh tabungan sebesar 53,62 persen, kemudian sisanya sebesar 29,30 persen adalah deposito dan 17,08 persen berupa giro.
“Jadi investor awalnya dari tabungan dulu, sehingga mudah-mudahan kenaikan tabungan itu bukan merefleksikan bahwa masyarakat Bali mulai ‘mantab’ atau makan tabungan tapi ada porsi (dana) yang bisa disimpan,” imbuhnya.
OJK Bali mencatat jumlah investor saham selama Januari-Agustus mencapai 217 ribu atau naik 25 persen dibandingkan periode sama 2023 mencapai 174 ribu.
Kemudian investor reksa dana tumbuh 28 persen dari 380 ribu menjadi 490 ribu investor.
Sedangkan nilai transaksi saham mencapai Rp3,2 triliun atau naik 28 persen dibandingkan periode sama 2023 mencapai Rp2,5 triliun.
Kemudian nilai kepemilikan saham mencapai Rp8,9 triliun atau naik 37 persen dibandingkan periode sama 2023 mencapai Rp6,5 triliun.
Dari sisi perbankan, lanjut Kristrianti, besarnya porsi tabungan di DPK juga memperluas kapasitas bank untuk melakukan ekspansi khususnya penyaluran kredit.
Pasalnya, instrumen tabungan di perbankan merupakan dana murah (CASA) dibandingkan deposito yang memiliki biaya tinggi.
Terbukti penyaluran kredit tergolong tinggi yakni mencapai Rp225,96 triliun atau naik 8,30 dibandingkan periode Agustus 2023 mencapai 208,64 triliun.
Sebagian besar kucuran kredit itu diserap sektor produktif yakni 29 persen untuk perdagangan besar dan eceran, 11 persen untuk penyediaan akomodasi makan dan minum, kemudian masing-masing 5,34 persen dan 5,16 persen untuk pertanian, perburuan, kehutanan dan industri pengolahan.
Sisanya adalah kredit bukan lapangan usaha atau kredit konsumen mencapai 34 persen.
Di sisi lain, kredit kepada pelaku UMKM di Bali mendominasi yakni mencapai 52 persen.
“Sekarang sudah dominan kredit investasi yang tumbuh tinggi. Artinya ekspansi sedang dilakukan,” katanya.