Denpasar (ANTARA) - I Made Pagiartha tidak akan melupakan lahan sawahnya di kawasan Subak Renon, Denpasar, Bali, yang pernah terdampak banjir saat musim panen raya pada Maret 2023.
Puluhan tahun menjadi petani, baru saat itu mata pencahariannya ikut tumbang akibat cuaca.
Hujan berhari-hari membuat air meluap di dekat area persawahan akibat tembok di saluran air tersebut jebol.
Akibatnya, dari 1,5 hektare lawan sawah yang ia garap, sebanyak 12 petak sawah atau sekitar 0,6 hektare di antaranya terendam banjir selama hampir satu pekan. Alhasil, padinya pun gagal panen karena tergenang dan membusuk.
Hanya saja, ia masih bisa bernafas lega karena lahan pertaniannya sudah diasuransikan.
Jika saja petani berusia 54 tahun itu mengikuti perasaannya, kala itu yang ingin berhenti asuransi tani, bisa jadi kerugiannya akan jauh lebih besar.
Sewaktu ia membayar premi, itu justru belum pernah klaim karena belum terdampak bencana. Sehingga ia berpikir hal itu merugikan petani, namun, saat bencana datang, ia baru merasakan manfaat dari asuransi itu karena benar-benar sangat membantu.
Setelah dicek oleh pihak terkait, akhirnya satu bulan setelah terdampak banjir, ia menerima klaim sebesar Rp5 juta.
Uang asuransi itu setidaknya mengganti kerugian biaya sewa traktor, upah tanam, dan biaya lainnya.
Selain itu, uang asuransi tersebut juga digunakan sebagai modal menanam kembali.
Baca juga: Mentan Amran yakini Indonesia bebas impor beras di tahun 2025
Dinas Pertanian Kota Denpasar mencatat klaim asuransi tani akibat banjir pada Maret 2023 memberi dampak kepada delapan petani, baik selaku pemilik maupun penggarap lahan di Subak Margaya di Pemecutan Kelod di Denpasar Barat dan Subak Renon di Denpasar Selatan.
Total lahan terdampak di dua subak Denpasar itu mencapai 3,75 hektare, dengan nilai klaim mencapai Rp22,5 juta.
Pentingnya asuransi tani
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali mencatat potensi luas panen padi pada 2024 di Pulau Dewata diperkirakan mencapai 107.224 hektare.
Dari jumlah itu, luas baku sawah di Kota Denpasar mencapai sekitar 2.000 hektare, berdasarkan data Dinas Pertanian Kota Denpasar, yang tersebar di Denpasar Timur, Denpasar Utara, dan Denpasar Selatan.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kota Denpasar I Gusti Ayu Ngurah Anggreni Suwari mengungkapkan seluruh luas lahan pertanian di Denpasar sudah diasuransikan dalam program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP).
Pertimbangan membayar premi petani karena penghasilan mereka bisa saja tidak menentu ketika terdampak hama, cuaca, dan bencana alam.
Pada 2019, sebagian besar pembayaran premi asuransi lahan pertanian di Denpasar masih swadaya dibayar petani.
Dari total nilai asuransi yang dibayar petani padi mencapai Rp180 ribu, mereka hanya perlu membayar premi sebesar Rp36.000 per hektare per musim tanam, karena disubsidi oleh Pemerintah Pusat, melalui APBN sebesar Rp144.000 per hektare per musim tanam.
Dengan begitu, petani membayar premi 20 persen dan sisanya dibayar oleh pemerintah pusat.
Setelah itu, mulai 2020, Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar menanggung seluruh premi yang dibayar petani yang bersumber dari pos anggaran di APBD Kota Denpasar setiap tahun.
Pemkot Denpasar membayar premi AUTP sebesar Rp72 juta atau sudah 100 persen untuk 2.000 lahan sawah di kota itu per tahun.
Dengan demikian petani padi di Denpasar tidak perlu membayar satu rupiah pun untuk AUTP dan dibantu dari pemerintah pusat sebesar 80 persen.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Bali, jumlah premi asuransi tani (AUTP) yang dibayarkan pada 2023 mencapai Rp2,9 miliar, dengan jumlah klaim mencapai Rp1,1 miliar.
Sementara pada 2024, jumlah klaim mencapai Rp483,5 juta, dengan jumlah premi yang dibayarkan mencapai Rp2,4 miliar.
Sementara itu, untuk klaim asuransi usaha ternak sapi/kerbau (AUTSK) pada 2023 mencapai Rp10 juta dari premi mencapai Rp73,2 juta, dengan jumlah sapi yang diasuransikan mencapai 366 ekor.
Selain asuransi, pengelolaan dari hulu pertanian, di antaranya untuk kebutuhan pupuk, petani juga disubsidi pemerintah pusat dengan alokasi pada 2024 sebesar 9,55 juta ton atau naik dari alokasi sebelumnya sebesar 4,7 juta ton.
Kementerian Koordinator Bidang Pangan juga mempersingkat dan menyederhanakan proses penyaluran yang langsung diberikan kepada gabungan kelompok tani (gapoktan) dari Kementerian Pertanian, melalui Pupuk Indonesia.
Sebelumnya, penyaluran harus menunggu surat keputusan (SK) dari pemerintah daerah.
Dengan penyederhanaan itu, SK yang selama ini diterbitkan oleh bupati, gubernur, dan kementerian lainnya akan dihilangkan.
Hilirisasi pertanian
Hasil pertanian para petani di Subak Renon juga mengurangi keterlibatan tengkulak karena rantai pasok sudah dipangkas dengan melibatkan Lembaga Pangan Usaha Masyarakat (LPUM) Renon yang didirikan sejak 2018 dan merupakan binaan Pemerintah Kota Denpasar.
I Made Pagiartha yang juga pekaseh (sebutan lokal untuk pemimpin subak atau sistem irigasi pertanian tradisional khas Bali) di Subak Renon Denpasar mengungkapkan LPUM itu merupakan satu-satunya lembaga yang dikelola oleh subak di Denpasar.
Lembaga itu bertindak selaku pembeli (offtaker) hasil pertanian para petani di subak seluas sekitar 45 hektare tersebut.
Rata-rata setiap panen subak itu menghasilkan sekitar 400-450 ton atau menyerap per tahun hingga sekitar 800 ton gabah basah dari petani langsung dengan harga kompetitif, yakni kisaran Rp6.500-Rp7.000 per kilogram.
Gabah yang diserap petani itu kemudian diproses oleh LPUM menjadi beras, bekerja sama dengan dua usaha penggilingan di Denpasar.
Baca juga: Wamenbud tekankan pelestarian subak hadapi tantangan pembangunan di Bali
Beras itu kemudian dikemas dan disalurkan kepada para aparatur sipil negara (ASN) dan melalui kegiatan pasar murah keliling di Kota Denpasar.
LPUM itu ke depan akan menyerap dan mengolah padi, tidak hanya di kawasan Denpasar Selatan, tapi juga wilayah pertanian lain, di antaranya Denpasar Timur dan Denpasar Utara.
Meskipun demikian , tantangannya adalah peralatan untuk panen, hingga mesin pengering padi perlu ditambah untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Kredit pertanian
Permodalan masih menjadi kendala yang kerap dihadapi para petani dalam memajukan usaha pertaniannya, misalnya untuk menambah alat-alat dan mesin pertanian.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Bali menyebutkan kredit pertanian dapat melalui petani atau gabungan kelompok tani (gapoktan) untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian.
OJK mencatat selama periode Januari-Agustus 2024, realisasi kredit pertanian di Bali mencapai Rp5,88 triliun atau hanya sekitar 5,34 persen dari keseluruhan realisasi kredit di Pulau Dewata yang mencapai Rp110,17 triliun.
Porsi itu jauh lebih kecil dibandingkan kredit konsumtif mencapai 34 persen, perdagangan besar dan eceran sebesar 29,40 persen dan sektor makan dan minum atau pariwisata sebesar 11,24 persen.
Ada pun skema kredit pertanian yang selama ini dijalankan adalah yarnen atau bayar setelah panen.
Petani dapat mengakses kredit/pembiayaan sektor prioritas pertanian (KPSP) yang dapat membantu modal petani, ketika akan memulai musim tanam padi, misalnya disalurkan melalui kredit usaha rakyat (KUR) sektor pertanian.
KPSP mencakup proses bisnis praproduksi, hingga pascaproduksi pada sektor pertanian, khususnya subsektor pertanian tanaman pangan dan subsektor peternakan.
Skema hulu-hilir itu mencakup, di antaranya kredit pertanian, pendampingan, asuransi tani, hingga adanya offtaker atau badan usaha/lembaga yang menyerap hasil pertanian.
Kepala OJK Bali Kristrianti Puji Rahayu menjelaskan apabila penghasilan petani terganggu akibat gagal panen karena hama atau cuaca, maka asuransi tani memiliki peranan besar karena dapat menjadi bantalan mereka.
Dengan skema tersebut petani mendapatkan kepastian harga, pangsa pasar, hingga memotong rantai panjang, termasuk tengkulak.
Secara tidak langsung, upaya itu mendorong kemampuan atau daya beli petani yang diukur melalui nilai tukar petani (NTP) oleh BPS Provinsi Bali.
Ada pun indeks NTP pada Juni 2024 sebesar 102,99 atau naik 0,90 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Peningkatan itu disebabkan naiknya indeks harga yang diterima petani dan penurunan indeks yang dibayar petani.
Upaya memastikan keberlanjutan hulu-hilir sektor pertanian, khususnya yang diterapkan Subak Renon, Denpasar, dapat menjadi percontohan dalam pengelolaan sektor pertanian di Bali.
Perlu ada kesamaan visi untuk memastikan sektor pertanian di Bali juga berkembang dan bisa menjadi tumpuan ekonomi masyarakat, selain sektor pariwisata yang rentan mengalami turbulensi, seperti saat pandemi COVID-19.
Hal yang terpenting pula adalah menjaga keberlanjutan hulu pertanian di Bali, melalui upaya masif, termasuk dalam menjaga lingkungan dari pencemaran sampah dan menekan alih fungsi lahan.
Selain itu, memastikan tersedianya pasar dan harga yang memberi kesejahteraan kepada petani.