Badung (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu Provinsi Bali meluncurkan pemetaan kerawanan dalam pelaksanaan Pilkada 2024 di provinsi itu yang disusun berdasarkan identifikasi terhadap Indikator Kerawanan Pemilu 2024 dan juga pelaksanaan pilkada di Provinsi Bali dari tahun 2017.
"Ini merupakan langkah awal untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Dengan diidentifikasi potensi kerawanan yang terjadi di Provinsi Bali dan sembilan kabupaten/kota, tentunya akan diambil langkah-langkah untuk dilakukan pencegahan," kata anggota Bawaslu Bali Ketut Ariyani, di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu.
Dalam acara peluncuran pemetaan kerawanan dan rapat koordinasi yang dihadiri berbagai pemangku kepentingan tersebut, Ariyani menyampaikan dari 61 indikator kerawanan penyelenggaraan pemilu, terdapat 13 indikator kerawanan yang memiliki potensi terjadi pada Pilkada 2024 di Provinsi Bali.
Ia merinci 13 indikator kerawanan yang berpotensi terjadi di Pilkada 2024 yaitu peserta pilkada yang tidak melaporkan dana kampanye, penduduk potensial tetapi tidak memiliki KTP elektronik, adanya perusakan fasilitas penyelenggaraan pilkada serta adanya imbauan dan/atau tindakan untuk menolak calon tertentu dari pemerintah lokal atau masyarakat.
Selain itu, adanya catatan khusus dari pengawas saat pemungutan suara, adanya putusan DKPP terhadap jajaran KPU/Bawaslu, adanya laporan politik uang yang dilakukan peserta/tim sukses, adanya komplain dari saksi saat pemungutan/penghitungan, adanya pelanggaran saat pemungutan suara, dan keterlambatan logistik pemungutan suara.
Selanjutnya, adanya penghitungan suara ulang di pemilu/pilkada, adanya pemungutan suara ulang dan perlengkapan pemungutan suara yang tidak sesuai ketentuan.
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Bali itu mencontohkan netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi rawan karena hal ini terjadi pada pelaksanaan Pemilu 2024 di Kabupaten Buleleng,
"Bahkan yang terbaru terjadi pada proses pilkada kali ini di Kabupaten Bangli. Isu netralitas ASN ini menjadi isu paling rawan karena pada Pilkada 2024 ini, masih terdapat petahana yang kemungkinan akan maju kembali, hal ini berpotensi menyebabkan terjadinya konflik kepentingan," kata Ariyani.
Terkait pelaporan dana kampanye tidak sesuai ketentuan menjadi isu yang dianggap rawan karena pernah terjadi pada Pemilu 2019 di Kabupaten Buleleng. Pada pemilu tersebut, ada tiga partai politik yang tidak melaporkan dana kampanye.
"Demikian pula isu hak untuk memilih menjadi isu yang rawan masih terdapat pemilih yang belum melakukan perekaman KTP-el, atau biasa disebut sebagai penduduk potensial pemilih belum perekaman KTP-el. Hal ini terjadi di seluruh kabupaten/kota se-Bali," ucapnya.
Ariyani mengatakan dari hasil pemetaan kerawanan tersebut, dapat ditentukan langkah antisipasi yang harus dilakukan untuk mencegah terjadi pelanggaran pada Pilkada 2024 yaitu dengan melakukan imbauan kepada semua pihak, melakukan rapat koordinasi pemangku kepentingan terkait, melakukan sosialisasi secara masif dan melakukan patroli pengawasan.
Sementara itu, Abhan, selaku penggiat pemilu dan mantan Ketua Bawaslu RI yang hadir sebagai pembicara menyampaikan urgensi pemetaan kerawanan diantaranya untuk pencegahan konflik dan kekerasan politik, perlindungan partisipasi publik dan hak asasi manusia dan keadilan pemilu.
"Selain itu untuk meningkatkan integritas proses dan hasil pemilihan, keamanan kandidat (peserta pemilihan), membangun kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan meminimalisasi potensi gangguan eksternal," ujarnya.
Sedangkan Ketua Indonesia Budget Center yang juga penggiat pemilu, Arif Nur Alam, mengatakan pelaksanaan pilkada secara serentak untuk memilih Gubernur dan Bupati/Wali Kota dalam Pilkada 2024 tentunya memberikan tantangan dalam pengawasan.
"Selain itu konfigurasi pendukung yang berbeda di tingkat pemilihan gubernur dengan di kabupaten/kota. Ini juga akan memberikan dinamika tersendiri dalam pengawasan," katanya.