Oleh Dolly Rosana
Menyantap hidangan secara bersama-sama ala "ngobeng" diyakini warga keturunan asli Palembang lebih berkat jika dibandingkan cara prasmanan yang mulai akrab pada kehidupan masyarakat modern.
"Sajian ala 'ngobeng' atau dikenal dengan sebutan lain 'ngidang' dipastikan lebih hemat dan tidak mubazir karena penyantap mengambil seperlunya mengingat hidangan dibagi dalam piring-piring kecil. Jadi diyakini lebih berkat," kata Khadijah, salah seorang warga keturunan asli Palembang seusai menghadiri acara perayaan akikah di kawasan sekitar tempat tinggalnya di 2 Ulu, Minggu (30/12).
Ia menuturkan, perbandingan demikian mencolok karena pada sajian prasmanan memperbolehkan tamu mengambil makanan semaunya. Terkadang keadaan itu membuat makanan tersia-sia (mubazir) karena penyantap kerap tidak menghabiskannya.
Sementara, ala "ngobeng" menyajikan hidangan seperlunya, semisal dalam satu piring hanya terdiri dari tiga atau empat potong ayam gulai, demikian pula untuk jenis lain.
"Kelihatannya saja rumit karena panitia terlihat sibuk membuat hidangan untuk beberapa orang, padahal 'ngobeng' itu sederhana dan masih pantas dilakukan untuk zaman sekarang," katanya.
Aulia, warga lainnya, menilai meski mulai terkikis tapi santapan ala "ngobeng" tetap lestari di lingkungan masyarakat keturunan Palembang karena meyakini keberkatan yang bakal diterima.
Makan bersama dengan duduk bersila di sekitar hidangan itu, dinilai lebih mencerminkan nilai kekeluargaan dan kebersamaan dibandingkan cara prasmanan.
Kebersamaan antartetangga juga terlihat karena merelakan rumah kediamannya yakni bagian ruang tamu dimanfaatkan menggelar hidangan karena pada umumnya milik tuan rumah akan dimanfaatkan keluarga atau kaum perempuan saja.
Hidangan pun dibentang hingga ke tingkat tiga ruang tamu karena bentuk rumah adat Palembang berundak-undak dimulai dari tingkatan pertama untuk meletakan sandal, kemudian tingkatan kedua dan ketiga deretan kursi.
"Ketika duduk mengitari hidangan pasti akan bertegur sapa, anak yang usianya lebih muda juga mendahulukan yang tua seperti mengambilkan nasi. Inilah wujud kebersamaan dan saling menghormati," ujarnya.
Tak hanya itu, warga sekitar terutama kaum muda yang menjadi tetangga tuan rumah dipastikan akan turun tangan membantu membawakan makanan untuk diletakkan pada sebuah nampan besar.
"Seperti tidak usah dikomando, pasti anak-anak muda akan membawa nampan berisi hidangan atau ember kecil untuk membasuh tangan para tamu," katanya.
Mulai Terkikis
Sementara, Ketua Seksi Budaya Dinas Pariwisata Sumsel Dadang Irawan mengatakan "ngobeng" semakin jarang dijumpai pada upacara adat perkawinan di Kota Palembang seiring dengan modernisasi kehidupan masyarakat saat ini.
Menurut dia, prosesi itu kian luntur karena masyarakat perkotaan menginginkan sesuatu yang praktis seperti prasmanan ala budaya barat.
"Untuk kawasan di tengah kota bisa dikatakan sudah jarang ditemukan acara makan ala 'ngidang' itu. Namun di pinggiran kota seperti di kawasan Seberang Ulu masih ada karena sejumlah pemangku adat setempat masih mempertahankannya," katanya.
Kearifan lokal itu memiliki nilai yang tinggi dalam membentuk kepribadian masyarakat karena menumbuhkan sikap kepedulian dan kebersamaan.
Biasanya warga setempat bahu membahu saat prosesi "ngobeng" dilaksanakan untuk membantu si pengundang dalam memuaskan para tamu, baik orang tua maupun kaum muda dan anak-anak.
Tuan rumah akan menyiapkan beberapa hidangan untuk para tamu undangan. Setiap hidangan untuk 5-10 orang dengan menu lengkap yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sambal, lalap, dan buah-buahan.
Hidangan digelar pada selembar kain dengan tempat nasi berupa nampan ditempatkan pada bagian tengah. (*/T007)
Makan Ala "Ngobeng", Berkat dan Hemat
Senin, 31 Desember 2012 11:01 WIB