Kuta, Bali (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Badung, Bali, menyebutkan tidak ada aturan hukum yang melarang Bendesa atau pemimpin desa adat untuk mendaftar sebagai calon anggota legislatif (caleg).
“Kalau ‘bendesa’ mencalonkan diri, tidak ada larangan, di undang-undang tidak ada (larangan),” kata Ketua Bawaslu Badung I Ketut Alit Astasoma di sela konsolidasi penguatan kelembagaan Bawaslu di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Selasa.
Ia menyebutkan pemimpin desa adat itu juga tidak dilarang maju dalam pemilihan wakil rakyat apabila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Setelah adanya undang-undang itu, lanjut dia, ada beberapa bendesa, khususnya di Badung yang lolos dan menjadi anggota DPRD, misalnya dari Desa Adat Abianbase menjadi anggota DPRD Badung untuk periode 2019-2024.
“Kemarin (Pemilihan Anggota Legislatif) lolos dan menjadi anggota dewan, di Abianbase masih aktif di DPRD. Mengacu ke UU Nomor 7 Tahun 2017 itu terbukti tidak ada larangan,” katanya.
Baca juga: Bawaslu Kabupaten Badung petakan potensi pelanggaran Pemilu 2024
Meski aturan hukum secara normatif tidak ada larangan bagi ‘bendesa’, namun ia menyerahkan juga kepada aturan hukum desa adat yakni awig-awig.
“Di ketentuan normatif tidak ada aturan melarang tapi awig-awig ada tidak larangan di ‘perarem’ (aturan pelaksanaan awig-awig)?. Kalau ada, itu yang kami gunakan sebagai dasar,” imbuhnya.
Meski begitu, ia belum mendata jumlah bendesa yang maju menjadi bakal calon anggota legislatif karena masih dalam pemeriksaan berkas administrasi oleh KPU Badung.
Selain itu, Alit melanjutkan di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023, juga tidak disebutkan ‘bendesa’ dilarang mencalonkan diri.
Baca juga: Bawaslu Bali: Belum ada pelanggaran ditahap pendaftaran bakal caleg
“Kalau di undang-undang dan PKPU juga tidak ada larangan,” katanya.
Dalam pasal 11 huruf k di PKPU itu disebutkan sejumlah syarat administrasi bakal calon wakil rakyat yakni mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, aparatur sipil negara, prajurit TNI, anggota Polri, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN dan atau badan usaha milik daerah (BUMD) atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri.
Dalam PKPU itu tidak menyebutkan terkait pemimpin adat atau di Bali disebut bendesa, hanya menyebutkan badan lain yang anggarannya dari keuangan negara.
Sedangkan menurut Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali menyebutkan desa adat adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci (kahyangan tiga atau kahyangan desa), tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Dalam pasal 65 perda itu disebutkan anggaran pendapatan desa adat, selain dari pendapatan asli desa adat, di antaranya juga bersumber dari alokasi anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) provinsi, bantuan pemerintah kabupaten/kota dan bantuan pemerintah pusat.