Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendorong bertumbuhnya sektor pendidikan yang mengutamakan iklim berpikir kritis atau critical thinking untuk mencegah kaum muda terpapar paham radikalisme, terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan di Indonesia.
Deputi Kerja Sama internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Andhika Chrisnayudanto saat ditemui di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Jumat menyatakan berpikir kritis sangat penting dan mendesak mengingat paham radikalisme, terorisme dan ekstremisme berbasis kekerasan telah beredar luas dalam masyarakat secara masif tak terkecuali dunia pendidikan.
"Perpres Nomor 7 tahun 2021 salah satu aksinya adalah untuk meningkatkan critical thinking di dalam lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat SD sampai perkuliahan juga untuk mempromosikan agar mereka tidak gampang terpengaruh oleh paham-paham radikal terorisme," kata Andhika.
"Perpres Nomor 7 tahun 2021 salah satu aksinya adalah untuk meningkatkan critical thinking di dalam lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat SD sampai perkuliahan juga untuk mempromosikan agar mereka tidak gampang terpengaruh oleh paham-paham radikal terorisme," kata Andhika.
Andika menyatakan bahwa berdasarkan beberapa data hasil penelitian menunjukkan bahwa pemuda dan pemudi sangat rentan terpapar paham radikal khusus melalui propaganda melalui media sosial. Andhika pun mengakui bahwa paham radikalisme telah masuk ke dalam dunia pendidikan di Indonesia. Karena itu, sektor pendidikan menjadi salah satu sektor terdepan memerangi paham radikal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan budaya berpikir kritis di kalangan pelajar.
Baca juga: BNPT: Serangan terorisme 2023 di Indonesia turun 56 persen
Baca juga: BNPT: Serangan terorisme 2023 di Indonesia turun 56 persen
Oleh sebab itu, Andhika mengingatkan generasi muda agar berpikir terbuka terhadap segala macam perbedaan dan tidak cenderung eksklusif atau tertutup terhadap kemajemukan karena salah satu target dari terorisme adalah orang-orang yang berpikiran eksklusif.
"Biasanya ada kelompok-kelompok tertentu kemudian ekslusif, kemudian dari situlah dipengaruhi, tetapi tidak mungkin juga bahwa mereka dapat radikal melalui online," kata Andhika.
Andhika menjelaskan saat ini terorisme secara global tidak melulu hanya ditopang oleh pemahaman yang keliru tentang agama, tetapi saat ini lebih kompleks.
"Isunya makin lama makin kompleks. Dulu kita lihat ekstremisme berbasis kekerasan itu dari sisi agama. Tetapi, sekarang berkembangnya bukan hanya dari sisi agama saja, tetapi rasial. Tidak lagi religiously motivated terorism, tetapi juga ada juga etnicly motivated terorism juga. Jadi memang terorisme secara global kalau saya lihat justru makin meluas," kata Andhika.
Andhika menyatakan di kawasan ASEAN memang masih fokus pada organisasi terorisme Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS) dan Al-Qaeda. Namun, jika dilihat perkembangan sekarang di beberapa negara di ASEAN mulai muncul terorisme berbasis etnisitas. Namun demikian, terorisme berbasis etnik hingga kini belum berpengaruh terhadap Indonesia.
"Yang berbasis etnik mungkin tak berpengaruh terhadap Indonesia. Tetapi kejadian-kejadian yang ada di Timur Tengah, Asia Selatan itu mungkin yang berpengaruh terhadap jaringan secara di nasional," kata Andhika.
Karena itu, kata Andhika, BNPT selalu mengkampanyekan rencana aksi Nasional RI pencegahan pemberantasan ekstremisme berbasis kekerasan sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor 7 tahun 2021 untuk mencegah kaum muda mudah terpengaruh paham radikal ekstrem.
Baca juga: Kapolri tunjuk Komjen Pol Rycko Amelza Daniel jadi Kepala BNPT
Baca juga: Kapolri tunjuk Komjen Pol Rycko Amelza Daniel jadi Kepala BNPT