Badung (ANTARA) -
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Republik Indonesia menyatakan indeks serangan terorisme di Indonesia tahun 2023 mengalami penurunan sebesar 56 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
"Berdasarkan Global Terorisme Indeks di Indonesia terlihat bahwa untuk serangan tahun 2023 mengalami penurunan sampai 56 persen," kata Deputi Kerja Sama internasional BNPT Andhika Chrisnayudanto di sela-sela pertemuan kelompok kerja ASEAN Senior Official Meeting terkait pemberantasan terorisme ke-19 (19th SOMT WG on CT) di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Kamis.
Penurunan angka serangan terorisme yang sama, kata Andika juga terjadi pada tahun 2022 dimana seturut pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk tahun 2022 penyerangan terorisme (terorism attacks) turun sampai 86 persen. Dengan data tersebut, menurut dia secara internasional dan nasional serangan terorisme di Indonesia mengalami penurunan.
Menurut Andika selain penurunan pada sisi serangan, indeks terorisme di Indonesia juga mengalami penurunan pada sisi jumlah kematian dan dampak sosial ekonomi bagi masyarakat dan negara. Ada tiga hal yang menjadi tolak ukur untuk mengukur indeks terorisme yakni sisi jumlah serangan, jumlah korban dan dampak yang ditimbulkan dari serangan tersebut.
Baca juga: Kapolri tunjuk Komjen Pol Rycko Amelza Daniel jadi Kepala BNPT
"Indikator penurunannya dilihat dari sisi penyerangan dan ini yang dipakai Global Terorisme Indeks memakai tiga faktor utama yaitu dari faktor adanya jumlah kematian, jumlah serangan, yang ketiga dampak sosial ekonominya," katanya.
Sebagai contoh, kata Andika kejadian bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astana Anyar, Bandung. Kejadian tersebut tidak banyak menelan korban jika dibandingkan dengan serangan terorisme besar lainnya di Indonesia.
"Itu dilihat dari jumlah kematian tidak banyak seperti tahun sebelumnya. Berarti jumlahnya turun," kata dia yang saat itu didampingi Sekretaris NCB Interpol Indonesia Divhubinter Polri Brigjen Pol. Amur Candra Juli Buana dan Kepala Bagian Konvensi Internasional Divhubinter Polri Kombes Pol. Dodied Prasetyo Aji.
Dengan jumlah kematian yang sedikit juga tidak berpengaruh besar pada sirkulasi ekonomi nasional maupun internasional. Hal tersebut berbeda dengan peristiwa penyerangan terorisme pada bom Bali yang sangat mempengaruhi berbagai aspek seperti sosial ekonomi dan politik internasional dimana akibatnya sangat terasa pada jumlah kunjungan wisatawan yang menurun drastis.
Baca juga: BNPT: Warung NKRI untuk berdayakan eks narapidana teroris
Namun demikian, kata Andika, walaupun catatan Indeks serangan terorisme mengalami penurunan tidak membuat BNPT dan stakeholder lainnya menganggap enteng potensi bahaya terorisme di Indonesia karena bagaimanapun pun juga potensi tersebut tetap ada dengan adanya paham radikalisme dan daftar terduga teroris, serta jaringan organisasi terorisme seperti Jamaah Islamiah dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
Menurut hasil survei BNPT bersama Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), Puslitbang Kemenag, Kajian Terorisme UI, BRIN, The Centre for Indonesian Crisis Strategic Resolution (CICSR), Nasaruddin Umar Office, The Nusa Institute, Daulat Bangsa dan Alvara Research Institute menyatakan Indeks Potensi Radikalisme tahun 2022 mengalami penurunan sebanyak 2,2 persen, dari 12,2 persen pada tahun 2020 menjadi 10 persen.
Survei tersebut menunjukkan Indeks Potensi Radikalisme lebih tinggi pada wanita, generasi muda dan mereka yang aktif di internet.
Adapun Indeks Risiko Terorisme tahun 2022 terdiri atas dimensi target dan dimensi supply pelaku. Hasil penilaian telah berhasil melampaui target yang ditetapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dimana Indeks dimensi target di tahun 2022 berada di angka 51,54.
Angka ini lebih rendah dari yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 54,26. Lebih lanjut, Indeks dimensi supply pelaku berada di angka 29,48. Angka itu lebih rendah dari yang ditetapkan RPJMN sebesar 38,00. Dalam hal ini, semakin kecil angka indeks, maka risiko terorisme menjadi semakin rendah.
"Jadi walaupun demikian negara memiliki kewajiban untuk melakukan penanganan. Intinya walaupun penyerangan turun, tetapi kami tidak bisa anggap enteng," kata Andika.
Andika menyatakan sebagai leading sektor atau sektor terdepan penanggulangan terorisme di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia terus berkomitmen melawan paham dan aksi terorisme, serta ekstremisme berbasis kekerasan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.