Denpasar (ANTARA) - Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan kembali memperkenalkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) kepada polisi dari Bali dan Lombok, NTB yang mengikuti lokakarya di Denpasar, Bali, Selasa.
SPPT PKKTP, yang telah dirumuskan sejak 2000 bersama sejumlah organisasi perempuan, bertujuan mensinergikan aparat penegak hukum dan lembaga layanan dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual.
“Sejak 2014, Komnas Perempuan telah mengujicobakan model SPPT PKKTP di beberapa wilayah di Indonesia. Hasil uji coba tersebut menunjukkan kolaborasi dari seluruh aktor kunci dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan dimungkinkan terjadi dengan model SPPT PKKTP ini,” kata Ketua Subkomisi Pengembangan Sistem dan Pemulihan Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini saat menyampaikan sambutan pada acara lokakarya di Denpasar, Selasa.
Dia pun berharap lokakarya yang digelar Konsulat Jenderal Inggris bekerja sama dengan Polri, Komnas Perempuan, LPSK, LBH Apik, dan Sehat Jiwa, dapat menjadi kesempatan bagi para polisi mendalami SPPT PKKPT sehingga ke depannya penanganan kekerasan seksual dan perlindungan korban dapat berjalan lebih optimal.
Baca juga: LBH Bali WCC galang donasi untuk penanganan kasus kekerasan ke perempuan
Dalam acara pelatihan yang sama, yang diikuti 41 polisi dari Bali dan Lombok pada 6–10 Februari itu, Komnas Perempuan juga mendorong partisipasi aktif masyarakat sipil dalam upaya bersama menghapus kekerasan seksual.
“Kami juga terus mendorong agar partisipasi masyarakat sipil di Provinsi Bali, dalam seluruh proses penanganan dan layanan penanganan kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan seksual dapat terus diakomodir dan mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah,” kata Theresia Iswarini.
Pasalnya, penghapusan kekerasan seksual merupakan tanggung jawab seluruh pihak, bukan hanya aparat penegak hukum.
“Komnas Perempuan berharap kerja bersama antara Pemerintah Daerah, aparat penegak hukum, lembaga layanan, jaringan masyarakat sipil, serta pihak Kedutaan Besar Inggris dapat terus dirawat dan dikembangkan untuk mencapai Bali yang bebas dari kekerasan seksual,” kata Ketua Subkom Komnas Perempuan itu.
Baca juga: Komnas: Kasus femisida di Indonesia didominasi pasangan intim
Komnas Perempuan pada Januari sampai dengan Desember 2022 menerima 3.448 laporan kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, dan 1.573 di antaranya merupakan kasus kekerasan seksual di ranah publik/komunitas, kemudian 1.460 kasus lainnya terjadi di ranah personal.
Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 9.588 kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2022. Jumlah itu naik lebih dari dua kali lipat apabila dibandingkan dengan angka pada 2021 sebanyak 4.162 kasus.
“Tentu saja situasi ini perlu perhatian bersama dan kerja sama sinergis yang kuat antarseluruh pemangku kepentingan terlebih saat ini Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah disahkan,” kata Iswarini.
Di lokasi lokakarya, Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali AKBP Suratno menyampaikan penghapusan kekerasan seksual menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya aparat penegak hukum.
“Dari hulu ke hilir harus dibenahi bersama,” kata Suratno pada sela-sela pelatihan.
Ia menyampaikan jajaran polisi di Polda Bali cukup rutin menggelar pelatihan untuk meningkatkan kapasitas penyidik menangani kasus kekerasan seksual.
“Ini rutin kami laksanakan. Saya yakin penyidik kami mampu, tetapi kasusnya memang cukup tinggi sehingga ini jadi perhatian, tanggung jawab bersama,” kata dia.
Kapolda Bali Irjen Pol. Putu Jayan Danu Putra, dalam sambutannya yang dibacakan oleh Suratno di lokakarya itu, menyebut pihaknya menangani 260 kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan pada 2022. Kekerasan itu di antaranya kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran, pelecehan, dan pencabulan.
“Kita sama-sama lihat, cukup tinggi 260 kasus setahun. Artinya, dalam satu hari setengah, ada kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Suratno.