Jakarta (Antara Bali) - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan bahwa perempuan rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual di tempat kerja.
Beberapa sektor mata pencaharian yang dinilai sangat mengancam perempuan yakni buruh pabrik dan buruh perkebunan, pelayan di kapal laut dan pramugrari pesawat terbang, serta industri hiburan.
"Dalam catatan saya mengikuti isu perburuhan, pelecehan seksual tidak sedikit bahkan dianggap sebuah kelaziman di pabrik-pabrik," ujar Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah dalam peluncuran film "Angka Jadi Suara" di Erasmus Huis, Jakarta, Senin.
Kekerasan yang dialami para pelayan di kapal disebutnya sulit diproses hukum karena sebagian besar dilakukan oleh warga negara asing yang tidak bisa dengan mudah dijerat dengan hukum Indonesia.
Sementara pramugari, yang seringkali dinilai sebagai profesi "mentereng" dan nyaman, justru sangat dituntut untuk selalu tampil prima dengan selalu merawat kulit dan tubuh. Selain terancam pembatasan usia kerja, gerak-gerik pramugari yang senantiasa dipantau juga menghambat mereka menjalani hidup secara bebas dan utuh.
Melihat semakin beragamnya pola-pola kekerasan seksual terhadap perempuan, Komnas Perempuan menilai salah satu solusi paling efektif untuk menekan praktik-praktik kejahatan yang seringkali tidak disadari baik oleh korban dan pelaku yakni dengan segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
RUU yang telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017 itu antara lain mengatur tentang perluasan definisi kekerasan seksual yang sebelumnya hanya tiga yang diakui di Indonesia yakni pemerkosaan, pelecehan seksual, dan pencabulan terhadap anak.
Padahal, kata Yuniyanti, jenis kekerasan seksual minimal ada 15 diantaranya perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan kontrasepsi, perusakan genital perempuan, dan perkawinan anak.
Di dalam RUU tersebut juga diatur pemberatan hukuman bagi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh orang dengan disabilitas dengan pertimbangan bahwa korban mengalami lapisan-lapisan persoalan yang berkaitan dengan keterbatasan dan kesulitan memberi kesaksian. Namun, Yuniyanti menegaskan bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan melahirkan bentuk hukuman-hukuman yang manusiawi dan sesuai dengan hak asasi manusia. (WDY)