Badung (ANTARA) - Tim Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Ombudsman, dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) melakukan dengar keterangan umum (DKU) untuk menelaah delapan kasus penyiksaan di Indonesia bagian Tengah yang diselenggarakan di Bali.
Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah di Kabupaten Badung, Senin, mengatakan delapan kasus yang akan dihadirkan dari 2-5 Oktober 2023 itu tidak berasal dari Bali melainkan daerah wilayah tengah Indonesia seperti NTT dan Kalimantan.
“Ini akan menelaah delapan kasus penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi serta semena-mena berbasis gender, anak, dan disabilitas di antaranya kasus pelukaan dan pemotongan genitalia perempuan, kematian pekerja migran dengan indikasi adanya organ tubuh hilang, perhambaan, pengabaian terhadap penyandang disabilitas psikososial, penyiksaan dan hukuman mati pelaku pencabulan, penjebakan transpuan narkoba, dan penundaan berlarut (delayed in justice),” kata dia.
Anis mengatakan pelapor yang akan didatangkan berasal dari dimensi penyiksaan beragam seperti penyiksaan di lapas ketika proses penangkapan, penyelidikan, maupun penyidikan atau kasus lain seperti kekerasan seksual dan tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan laporan yang diterima Komnas HAM, hingga saat ini tiga pihak terlapor terbanyak berasal dari kepolisian, di mana tahun 2022 saja dari 3.190 kasus pelanggaran HAM yang masuk, sebanyak 861 kasus diantaranya menjadikan polri sebagai terlapor.
Dengar keterangan umum ini sendiri merupakan Inkuiri Nasional untuk melihat bagaimana praktek penyiksaan yang terjadi di Indonesia, terbagi dalam wilayah Tengah dilaksanakan di Bali, Barat di Medan, Timur di Manado, dan akhirnya Nasional di Jakarta.
Komisioner KPAI Sylvana Apituley menambahkan, kegiatan dengar keterangan umum dilandasi oleh beberapa prinsip seperti transparansi, terbuka, melibatkan publik sebagai pengamat, memastikan persetujuan, kerahasiaan dan keamanan korban, menghindari perkataan yang memantik secondary trauma termasuk tidak memojokkan korban, serta no naming no shaming.
Hal ini dilakukan demi kepentingan keselamatan pelapor dan saksi, sehingga proses DKU dilakukan terbuka, namun terbatas pada lembaga yang sesuai untuk nanti hasil akhir baru akan disebarluaskan secara umum ke publik.
Selama empat hari, Tim KuPP akan mengumpulkan bukti-bukti yang diperoleh dari pelapor yang didatangkan untuk menemukan pola sistemik pelanggaran HAM dan irisannya dengan kekerasan berbasis gender, disabilitas dan anak khususnya kasus-kasus kekerasan seksual sehingga bukan sekadar berurusan dengan pengaduan-pengaduan individual.
“Dari kasus yang sudah kami periksa atau investigasi kami analisis dan identifikasi, lalu dirumuskan rekomendasi bersama untuk negara (pemerintah) yang memiliki mandat untuk memenuhi hak asasi manusia,” ujar Sylvana.
Adapun enam Komisioner Inkuiri Nasional yang terlibat dalam DKU adalah Andy Yentriyani dan Rainy Hutabarat dari Komnas Perempuan, Sylvana Apituley dari KPAI, Anis Hidayah dari Komnas HAM, Jemsly Hutabarat dan J. Widiantoro dari Ombudsman, dan Jonna Aman Damanik dari KND.
Baca juga: Menteri PPPA minta masyarakat berani bicara dan lapor soal kekerasan seksual
Baca juga: Menaker libatkan semua pihak cegah kekerasan seksual di tempat kerja