Kuta, Bali (ANTARA) - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor di ASEAN untuk bersama mengatasi tindak pidana perdagangan orang (TPPO) karena merupakan kejahatan lintas negara.
"Kerja sama internasional harus ditingkatkan dalam partisipasi multi-sektor. Saat ini tidak ada satu pun negara bisa menangani sendiri kejahatan lintas negara tersebut," kata Menlu Retno Marsudi secara virtual di sela Konferensi Regional ASEAN terkait TPPO di Kuta, Kabupaten Badung, Bali, Selasa.
Menurut dia, kolaborasi perlu dikencangkan terlebih sindikat TPPO memanfaatkan kecanggihan teknologi informasi yang disalahgunakan dalam merekrut para korban.
Untuk itu, semua pihak termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di ASEAN melalui konferensi yang diselenggarakan Komnas HAM RI itu bisa berkontribusi mencegah dan mengawal perlindungan HAM khususnya para korban TPPO.
Baca juga: Komnas HAM RI kedepankan pendekatan HAM dalam tangani kasus TPPO
Sementara itu, Menlu Retno kembali menegaskan ASEAN terus memperkuat upaya dalam memerangi TPPO melalui komitmen pemimpin Asia Tenggara yang mengadopsi tiga dokumen penting saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, NTT.
Ada pun tiga dokumen yang diadopsi itu yakni menyangkut Deklarasi ASEAN terkait perdagangan orang, perlindungan pekerja migran dan perlindungan nelayan migran.
"Semua dokumen itu punya tujuan untuk meningkatkan koordinasi di antara lembaga penegakan hukum dan meningkatkan perlindungan korban TPPO," ujarnya.
Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro mengatakan ASEAN menjadi kawasan yang tinggi arus pekerja migran yang diperkirakan jumlah pekerja migran mencapai 10 juta per tahun, sekitar 50 persen di antaranya adalah pekerja perempuan.
Untuk itu, pekerja migran perempuan dinilai rentan menjadi TPPO karena jenis pekerjaan di luar negeri banyak berkaitan dengan perempuan, misalnya, asisten rumah tangga atau pekerja domestik.
Baca juga: Gubernur Bali usul sindikat dan pelaku TPPO ditambah jeratan pidananya
Sementara itu, terkait penyalahgunaan teknologi informasi, korban TPPO direkrut melalui penipuan daring (scamming) memanfaatkan media sosial.
Sejak 2020, Kemenlu RI mencatat banyak WNI terjebak di perusahaan online scamming yang sebagian besar di kawasan Asia Tenggara dan mengalami eksploitasi ketenagakerjaan.
Para pelaku merekrut korban untuk dipekerjakan secara paksa di negara Asia Tenggara dan beberapa di Timur Tengah untuk menipu secara daring.
Hingga Mei 2023, Kemenlu RI menangani 2.438 kasus WNI terjebak online scamming yang sekitar 50 persen atau 1.233 WNI di antaranya ditangani di Kamboja.
Sisanya, di Myanmar sebanyak 205 WNI, Filipina (469), Laos (276), Thailand (187), Vietnam (34), Malaysia (30), Uni Emirat Arab (4).
Sedangkan pada 2022, Kemenlu RI memulangkan 425 WNI terjebak kasus sama, dan sayangnya, yang telah dipulangkan, ada yang kembali ke luar negeri untuk bekerja di sektor yang sama.