Denpasar (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Made Mangku Pastika berpandangan perencanaan pembangunan daerah di Provinsi Bali harus kontekstual dan dapat diimplementasikan sehingga bisa memberikan manfaat bagi masyarakat.
"Memang untuk membuat rencana kerja pemerintah itu tidak mudah karena akan ada sejumlah tekanan," kata Pastika dalam acara bertajuk Rembug Terbatas di RAH-The House of Legal Experts di Denpasar, Sabtu.
Rembug Terbatas bertajuk Mengawal Kebijakan Publik yang Pro Rakyat untuk penyerapan aspirasi tersebut menghadirkan narasumber Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr Ida Bagus Wyasa Putra dan Fungsional Perencana Ahli Utama Bappeda Provinsi Bali I Putu Astawa serta diikuti sejumlah tokoh Bali dari berbagai profesi.
Mantan Gubernur Bali dua periode ini menyebutkan, secara umum ada tiga tekanan dalam proses pembuatan rencana kerja atau rencana pembangunan pemerintah yakni tekanan politik, tekanan regulasi atau perundang-undangan dan tekanan dari masyarakat.
"Tekanan politik ini yakni harus sesuai dengan perintah pimpinan. Namun di sisi lain juga harus disesuaikan dengan aturan perundang-undangan yang tentu memiliki norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK)," ucap Anggota Komite IV DPD RI ini.
Selain itu, pemerintah juga dihadapkan pada tekanan dari masyarakat karena ada publik yang mengerti maupun tidak mengerti. Kalau persnya "hidup" maka akan ada tambahan tekanan dari pers.
"Mengapa akhirnya banyak kepala daerah yang dipenjara karena birokrasi terpaksa mengikuti apa yang menjadi keinginan politisi (kepala daerah-red) meskipun tidak sesuai dengan NSPK. Hal itu karena mereka takut dicopot dari jabatannya," katanya.
Baca juga: Mangku Pastika dorong pengembangan teknologi-manajemen bumdes di Bali
Terkait perencanaan yang kontekstual, visi misi pemerintah yang sudah ditetapkan beserta regulasi yang telah ditelurkan harus dibarengi dengan strategi dan program yang jelas, yang ujungnya dapat dilihat dalam dokumen pelaksanaan anggaran (DPA).
"Contohnya saja ketika ada regulasi untuk memajukan pertanian organik. Dalam DPA apakah sudah tertuang terkait hal tersebut, lalu praktiknya seperti apa? Kalau tidak ada, berarti itu tidak kontekstual," ujar mantan Kapolda ini.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr Ida Bagus Wyasa Putra mengatakan Bali hendaknya dapat belajar dari pengalaman dan kebijakan publik yang dibuat haruslah merupakan kebijakan yang terukur.
"Saya kira perlu direspons dengan baik berdasarkan fakta-fakta dan bukan hanya berdasarkan keinginan-keinginan teoritik atau perkiraan yang tidak terukur," ujar Wyasa
Seperti halnya pandemi COVID-19 sudah memberi tahu bahwa pariwisata Bali rentan terhadap berbagai peristiwa, seperti karena kesehatan, bencana dan sebagainya.
"Oleh karena itu, kita perlu menyiapkan ekonomi substitusi yang mengambil bisa mengambil posisi ketika pariwisata tidak bisa bekerja. Ekonomi substitusi di zaman global pun jangan diartikan sebagai suatu cara berpikir pengembangan ekonomi yang sifatnya lokal dan harus di Bali," katanya.
Baca juga: Mangku Pastika ajak masyarakat tingkatkan kualitas warga desa
Menurut Prof Wyasa, Indonesia harus membangun SDM yang kompetitif dan bisa menerobos berbagai peluang di seluruh dunia.
"Selain itu perlu meneliti banyak sekali potensi ekonomi yang selama ini belum diberikan perhatian dan belum dibangun secara terstruktur. Kita harus melihat penduduk kita sesungguhnya sangat kreatif," ujarnya.
Ia pun mencontohkan saat ini banyak anak muda Bali yang mengembangkan tambak udang hingga tujuan ekspor. Anak-anak muda Bali juga tak lagi hanya berorientasi menjadi PNS, namun mereka juga mulai mengembangkan peternakan bekerja sama dengan perusahaan internasional.
Fungsional Perencana Ahli Utama Bappeda Provinsi Bali I Putu Astawa dalam dialog itu mengatakan bahwa bekerja di birokrasi itu mudah, namun tidak bisa dilepaskan dengan berbagai intervensi.
"Meskipun pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan III 2022 sudah positif 8,09 persen (yoy). Namun, pariwisata kita sesungguhnya belum pulih seperti sebelum pandemi COVID-19. Kunjungan wisatawan ke Bali sangat dipengaruhi oleh adanya sejumlah pelonggaran," katanya.
Akademikus Unud yang juga mantan Hakim Mahkamah Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpandangan seringkali pemerintah merasa sudah selesai mengerjakan sesuatu karena telah membuat aturan tertulisnya. Namun tidak diikuti dengan program untuk mengimplementasikan regulasi yang telah dibuat.
Dr I Gede Suardana, akademisi dari Undiknas Denpasar mengatakan seyogyanya kebijakan publik juga harus dibuat sesuai nalar publik.
"Jangan sampai nalar publik mengatakan bagus seperti halnya keberadaan SMA Negeri Bali Mandara tetapi malah dihilangkan karena hanya demi kebijakan politik," ucap mantan Ketua KPU Kabupaten Buleleng itu.