Bupati Badung Giri Prasta meminta masyarakat untuk terus melestarikan dan mempertahankan tradisi budaya Aci Tabuh Rah Pengangon atau tradisi yang dikenal "perang ketupat" sebagai salah satu upacara adat masyarakat Desa Kapal, Badung yang dianggap sebagai warisan budaya tak benda.
"Pelestarian itu, mengingat Aci Tabuh Rah Pengangon dianggap sebagai media untuk mewarisi tradisi dan nilai-nilai leluhur masyarakat setempat. Karena itu, kegiatan tersebut perlu dilaksanakan tiap tahun," kata Bupati Badung Giri Prasta di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, Senin.
Giri Prasta mengatakan tradisi budaya Aci Tabuh Rah Pengangon merupakan salah satu budaya tak benda yang dimiliki oleh masyarakat adat di Badung yang harus dipertahankan karena mengandung nilai-nilai luhur yang diwariskan secara turun temurun lintas generasi.
Bupati Badung menjelaskan secara etimologis, tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon itu terdiri dari gabungan kata aci yang artinya persembahan, tabuh itu turun, rah itu energi, serta, pengangon berarti Bhatara Dewa Siwa. Jadi, tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon merupakan tradisi masyarakat adat untuk meminta energi atau anugerah berupa kemakmuran kepada Dewa Siwa.
Baca juga: Tradisi Ngerebeg di Tegallalang-Gianyar ditetapkan jadi Warisan Budaya Tak Benda
Baca juga: Tradisi Ngerebeg di Tegallalang-Gianyar ditetapkan jadi Warisan Budaya Tak Benda
Penggunaan bahan yang dipilih dalam penyelenggaraan tradisi tersebut, kata dia, mengungkapkan purusa (sperma) dan pradana (indung telur). Tupat itu merupakan simbol perempuan, sementara kue bantal simbol laki-laki. Keduanya bertemu di alam semesta dengan tujuan untuk mendapatkan kesejahteraan secara pribadi, kelompok dan golongan masyarakat.
"Bagi kami ini luar biasa. Bagi saya, satu kata pertahankan dan lestarikan," kata dia.
Sementara itu, Bendesa adat Desa kapal Ketut Sudarsana menjelaskan tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon merupakan warisan leluhur yang telah dilakukan secara turun temurun dan dibuktikan dengan sumber-sumber lisan dan manuskrip yang memang ada di desa Kapal.
Ketut Sudarsana menjelaskan tradisi tersebut telah dimulai sejak tahun1339 pada saat raja Bali Asta Sura Ratna Bumi Banten yang menyuruh Kebo Iwa untuk merestorasi pura yang ada di Kapal. Pada masa itu, kondisi masyarakat Kapal sementara mengalami masa paceklik terutama pada bidang pertanian. Karena pada masa itu semua orang memiliki kesadaran bahwa sektor agraris merupakan sektor yang dapat mempertahankan hidup.
"Sesungguhnya masyarakat kapal lebih populer dengan menyebutnya sebagai siat ketupat. Sesungguhnya itu keliru yang benar adalah Aci Tabuh Rah Pengangon. Karena itu, Aci Tabuh Rah Pengangon ini merupakan upacara atau ritual yang sakral yang dipersembahkan ke hadapan Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan, untuk memohonkan kesuburan, energi untuk membangun Desa ini," kata dia.
Baca juga: Menggali keunikan di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan
Baca juga: Menggali keunikan di Desa Wisata Tenganan Pegringsingan
Dia menyatakan pada masa pandemi COVID-19 melanda, kegiatan Aci Tabuh Rah Pengangon ini tetap dilaksanakan, tetapi tertutup bagi semua warga masyarakat desa dan masyarakat luas dengan sajian acara yang sederhana seperti yang digelar saat ini dan masa sebelum pandemi.
"Setelah pandemi mereda kami lakukan seperti yang sekarang yang memang dari dulu dengan tarian yang ada. Ke depan rencananya, pihak desa akan membuat kostum lebih banyak lagi supaya seragam," kata Ketut Sudarsana.
Dia mengatakan, upacara Aci Tabuh Rah Pengangon bukan semata-mata permainan masyarakat, melainkan persembahan masyarakat Kapal ke hadapan Dewa Siwa untuk memohonkan berkat bagi desa adat Kapal dengan beragam kelimpahan berkat.
Acara yang digelar pada setiap Rahinan purnama kapat (purnama keempat) yang dalam kalender Bali jatuh setiap sekali setahun itu, menurut Sudarsana perlu dipahami sebagai upacara mohon berkat, bukan perang. Itulah sebabnya, dalam penyelenggaraan acara tersebut, angka 33 yang diwakili oleh 33 pemuda dan 33 pemudi yang terlibat melempar ketupat merupakan representasi dari Dewa Siwa.
"Kalau kita bilang siat, itu identik dengan perang, pertempuran karena masyarakat dulu melempar tipat dengan bantal. Padahal tipat dan bantal itu sarananya. Makanya lebih dikenal dengan siat tipat. Di desa Kapal kami turun ke banjar-banjar untuk mengedukasi masyarakat tentang istilah yang benar dari tradisi adat tersebut," kata dia.
Baca juga: Ubud jadi kota terbaik di dunia berkat lestarikan adat-alam
Bendesa adat menjelaskan tradisi tersebut sudah dimulai tahun 1939 dan dalam sejarah masyarakat Kapal, tradisi itu hanya sekali tidak digelar yakni pada tahun 1944 karena masih dalam perjuangan kemerdekaan. Pengajuan tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon hak kekayaan intelektual sebagai warisan tak benda masyarakat adat Kapal telah ditetapkan pada tahun 2019.
video oleh Pande Yudha
video oleh Pande Yudha