Oleh Tunggul Susilo
Denpasar (Antara Bali) - Desingan gergaji mesin itu terdengar menderu-deru, di tengah suasana sepi Desa Pakraman Pengotan, salah satu desa adat berpenduduk asli Pulau Dewata atau etnis Bali Aga, di lereng Gunung Batur, Kabupaten Bangli.
Selain tukang yang menggergaji kayu untuk membuat daun pintu, dua orang lainnya juga terlihat sibuk membantu, termasuk merapihkan dinding dan lantai salah satu rumah adat di desa itu yang tengah disulap menjadi bergaya modern.
Dari ratusan rumah adat yang awalnya beratap bilah-bilah bambu dan berndiding bilik bambu, kini hampir semuanya berubah beratap seng, genteng dan berdinding batako atau tembok yang sudah diplester, lengkap dengan jendela kaca.
Itulah potret objek wisata Desa Adat Pengotan di lereng Gunung Batur, Kabupaten Bangli, yang kini kondisinya bagai hidup segan mati tak hendak, atau kunjungan turisnya nyaris tiada lagi.
Pada hari-hari biasa yang tiada ritual adat, seperti Minggu siang itu, objek wisata desa adat atau desa pakraman berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Bangli, hampir 60 kilometer dari Denpasar tersebut hanya terlihat kehadiran sejumlah warga setempat.
"Kondisi hari-hari biasa ya sepi seperti ini. Kecuali saat ada ritual adat baru ramai kehadiran masyarakat dan wisatawan," kata Jero Silain, salah seorang warga penghuni rumah adat di depan Pura Penataran Agung, Desa Pakraman Pengotan.
Ditemui di lokasi yang tak jauh dari Kantor Desa Pakraman Pengotan yang sedang direnovasi, Jero Silain mengatakan, kondisi desanya sepi selain tak ada kunjungan wisatawan, warga umumnya lebih banyak tinggal di gubuk-gubuk di ladang yang menjadi sumber mata pencaharian.
Ia mengakui rumah-rumah adat yang semula berdinding bilik dan beratap bilah-bilah bambu, telah berubah menggunakan seng, genteng, dan dinding batako atau tembok yang telah diplester.
Keaslian rumah adat itu nyaris tiada lagi, bahkan warga sudah banyak yang menggunakan telepon seluler, dengan melakukan aneka usaha, termasuk jual-beli kendaraan bermotor.
"Silahkan masuk kalau mau lihat tungku api untuk memasak yang posisinya berdampingan dengan ranjang tempat tidur," kata Ny Nunik, salah seorang warga adat yang tengah membahas transaksi kendaraan bermotor dengan seorang pria.
Ia tinggal berdua bersama anak laki-lakinya yang masih sekolah SMP, sedangkan anak perempuannya sudah bekerja di sebuah pusat oleh-oleh di Kota Denpasar. "Sehari-hari kami hanya berdua, bapaknya sudah meninggal dunia. Anak yang besar mencari penghidupan di kota (Denpasar)," ucapnya.
Ny Nunik mengaku gerusan modernisasi rumah adat tak terbendung lagi. Salah satu alasannya, ingin tinggal di rumah yang lebih bagus. "Dinding bilik cepat rusak, dua-tiga tahun harus diperbaiki lagi," ucapnya sambil menunjuk dinding kulit bambu baru yang melapisi separuh bagian depan rumahnya, sedangkan lainnya sudah menggunakan tembok semen.
Sementara itu kondisi beberapa bangunan di lingkungan Pura Penataran Agung, Desa Pakraman Pengotan, justru terlihat tidak lagi terawat, atap dan langit-langit rusak parah dan banyak bagian yang tidak terawat.
Kobeng, salah seorang warga setempat yang biasa memandu wisatawan yang berkunjung, menduga kondisi perkampungan Desa Adat Pengotan yang tidak terawat dan bangunannya berubah modern, menjadi salah satu penyebab memudarnya kunjungan wisatawan.
"Kami membantu mengupayakan kunjungan wisatawan, khususnya tamu yang memanfaatkan Baliwoso Camping Site (penginapan berkonsep perkemahan) yang lokasinya tak jauh dari desa adat ini," ujarnya.
Ia mengaku selalu mengarahkan tamu Baliwoso untuk rekreasi berjalan kaki pagi hari mengelilingi jalanan desa setempat hingga perkampungan Desa Adat Pengotan yang berjarak sekitar dua kilometer.
"Kami bersama sejumlah pemuda sebagai keturunan warga asli Bali Aga ingin sekali wisata budaya desa adat di sini bisa ramai kembali, tak kalah dari perkembangan Desa Adat Penglipuran (tetangga desa) yang setiap hari ramai dikunjungi wisatawan," ujar Kobeng.(T007)
Wisata Desa Adat Asli Bali Yang Nyaris Mati
Minggu, 2 September 2012 20:18 WIB