Semarapura (ANTARA) - Petani garam tradisional di Desa Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali yang tergabung dalam Kelompok Tani Garam "Sarining Segara" mengharapkan bantuan akses pasar agar produk yang dihasilkan dapat terserap lebih baik.
"Kami sangat mengharapkan bantuan akses pasar. Jika pasar sudah tersedia, generasi muda di sini tentunya akan mau tertarik menjadi petani garam," kata Ketua Kelompok Tani Garam "Sarining Segara" Mangku Rena di Semarapura, Kabupaten Klungkung, Kamis.
Mangku Rena menyampaikan harapan tersebut dalam acara penyerapan aspirasi atau reses yang digelar oleh anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Made Mangku Pastika beserta tim.
Baca juga: Garam Kusamba terima Sertifikat dan Surat KI dari MenkumHAM
Menurut dia, meskipun garam Kusamba sudah terkenal hingga mancanegara dengan cita rasa yang khas dan proses pengolahan yang unik, namun kenyataannya tidak berbanding lurus dengan akses pasar dan kesejahteraan petani setempat.
Dalam kondisi normal, kelompok petani garam yang terdiri dari 18 anggota tersebut bisa memproduksi garam hingga enam ton dalam sebulan. Namun, yang sudah terserap dengan pasti hanya sekitar satu ton yang dibeli Pemerintah Kabupaten Klungkung.
Selain itu, belum lama ini juga dikirim sekitar 1,2 ton ke Surabaya, Jawa Timur, dan sebagian kecil untuk memenuhi pasar lokal.
Mangku Rena menambahkan kendala dalam akses pemasaran itu pula yang menyebabkan menyusutnya jumlah petani garam tradisional di Kusamba yang sebelumnya mencapai 100 orang dan kini tinggal 18 orang.
"Untuk memenuhi pasar tradisional, petani garam Kusamba juga dihadapkan pada tantangan maraknya garam oplosan yang mengatasnamakan garam Kusamba di pasar-pasar tradisional," ucapnya pada acara yang dipandu staf ahli I Nyoman Wiratmaja dan Ketut Ngastawa itu.
Garam oplosan ini dijual dengan harga lebih murah. Garam didatangkan dari Madura, kemudian diproses sedemikian rupa dengan penjemuran dan prosesnya yang lebih singkat.
Untuk pemasaran garam Kusamba, lanjut Mangku Rena, juga dihadapkan pada kendala aturan kandungan yodium yang minimal harus 30 ppm. "Garam yang kami produksi tentunya sudah mengandung yodium, hanya saja kandungannya masih di bawah 30 ppm," ujarnya.
Meskipun sudah ada surat edaran Gubernur Bali Wayan Koster yang tidak mengharuskan adanya kandungan yodium untuk produk garam tradisional, Mangku Rena mengatakan kenyataannya di lapangan para petani juga belum berani menjual garam jika kandungan yodiumnya kurang.
"Nanti dari BPOM pasti akan memeriksa kembali dan mempersoalkan kandungan yodium yang diproduksi. Ini juga menjadi kendala bagi kami petani garam tradisional. Kami harapkan segera ada titik temu persoalan ini," katanya.
Baca juga: Pertamina jadikan garam tradisional Kusamba sebagai wisata
Selain karena kendala pemasaran, petani garam juga terpaksa menstok hasil produksi agar tetap bisa menyambung hidup. Dalam setahun itu, efektifnya petani garam hanya mampu memproduksi selama enam bulan karena ketika musim hujan, otomatis produksi terhenti.
Sementara itu, Made Mangku Pastika mengatakan pihaknya sengaja berdialog dengan Kelompok Tani Garam "Sarining Segara" agar dapat mendengarkan tantangan yang dihadapi para petani garam tradisional di daerah Kusamba, Kabupaten Klungkung itu,
"Kasihan petani garam kita sudah bekerja setengah mati, namun tidak bisa menikmati harga yang wajar dan juga produk tidak terserap dengan baik. Padahal, produksi garam tradisional Kusamba sudah sangat terkenal hingga mancanegara," ucapnya.
Mengenai persoalan kandungan yodium yang harus terkandung dalam garam tradisional, Pastika berjanji akan mengomunikasikan dengan pihak terkait seperti dengan BPOM dan pemerintah daerah agar segera ada titik temu.
"Terkait dengan fenomena garam oplosan yang mengatasnamakan garam Kusamba, sebenarnya masih bisa dipersoalkan secara hukum dan dilakukan penindakan karena garam Kusamba kini sudah memiliki sertifikat Indikasi Geografis," ucap mantan Gubernur Bali dua periode itu.