Denpasar (Antara Bali) - Novel "65" karya penulis Gitanyali dengan mengusung budaya pop diharapkan bisa menjadi upaya untuk proses rekonsiliasi menyeluruh terkait sejarah kelam negeri ini terkait tragedi kemanusiaan pada tahun 1965/66.
"Novel itu didasari sebuah hipotesis mengenai proses rekonsiliasi atas kuatnya pengaruh budaya pop saat ini," katanya dalam diskusi novel terbarunya di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Sabtu Malam.
Ia mengungkapkan kepada para peserta diskusi dan pecinta sastra bahwa dari eksperimennya dunia pop dinilai sangat politis terlebih di era saat ini yang sebagian masyarakatnya lebih memilih sifat konsumerisme yang lahir dari kapitalisme.
Menurut penulis Bre Redana yang selama ini menggunakan nama pena Gitanyali itu budaya pop diharapkan merupakan salah satu upaya untuk menciptakan rekonsiliasi yang menyeluruh meskipun karya novel merupakan rekaan namun menyimpan nilai - nilai faktual.
Apalagi sejarah kelam itu masih membayangi sebagian masyarakat Indonesia, baik sebagai stigma ataupun pengalaman kelam yang masih tersisa. Hal itupun membuat sebuah pakem deideologi yang membentuk karakter dan labelelisasi yang sangat memprihatinkan bagi para korban yang sebagian besar tidak tahu menahu mengenai kejadian kelam 47 tahun lalu.
"Pertumbuhan manusia tidak semata oleh ideologi dalam lingkungan dimana ia tumbuh. Pertumbuhan seseorang tidak akan ditentukan oleh satu variabel ideologi," tambahnya.
Novel "65" berkisah mengenai memori dan perjalanan tokoh yang menjadi saksi pada peristiwa itu dalam melakukan rekonsiliasi atau berdamai dengan masa lalu dengan latar belakang mulai dari sebuah kota kecil di Jawa Tengah, Jakarta, hingga Bangkok Thailand, Hong Kong, dan Glasgow Inggris.
"65" merupakan lanjutan dari novel terdahulu tahun 2011 karya Gitanyali yakni "Blues Merbabu" yang merekam kehidupan terutama bagi keluarga dan anak seseorang yang dilahirkan dari eks-Partai Komunis Indonesia (PKI).(DWA/T007)