Bali (ANTARA) - Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Hestu Yoga Saksama mengatakan kebijakan ultimum remedium Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) selaras dengan Undang-Undang Cipta Kerja.
Kebijakan tersebut memungkinkan Wajib Pajak (WP) diberi kesempatan untuk mengembalikan kerugian negara dengan membayar pokok pajak yang kurang dan sanksi, sebagai pertimbangan agar tidak dipidana.
"Berbagai bentuk substansi UU HPP selaras dengan tujuan Undang-Undang Cipta Kerja, misalnya mengenai relaksasi sanksi-sanksi dalam perpajakan. Ini bukan berarti banyak kehilangan dari potensi penerimaan pajak segala macam, tidak," kata Hestu Yoga dalam temu media yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu di Bali, Rabu.
Selain berpotensi tidak dipidana, dalam UU HPP, kata dia, WP yang terlambat membayar pajak juga dikenakan sanksi yang lebih rendah dibandingkan sanksi pada aturan sebelumnya sebesar sebesar 50 sampai 100 persen bagi pajak yang kurang dibayar.
Baca juga: Realisasi penerimaan pajak di KPP Denpasar capai 67 persen
Berdasarkan hasil diskusi dengan pengusaha, lanjut dia, sanksi yang rendah justru membuat WP patuh dan berkeinginan membayar kekurangan pajak beserta dendanya. Sebaliknya jika sanksinya terlalu tinggi, WP justru memilih untuk tidak membayar sama sekali karena terlalu berat.
"Dari benchmark kita terhadap negara-negara lain, sanksi yang kita miliki kemarin memang tidak fair. Kita merelaksasi atau memoderasi sanksi ini hampir di seluruh aspek pembayaran pajak," ucapnya.
Kebijakan-kebijakan ini pun diharapkan lebih mempermudah pelaku usaha dalam beraktivitas di dalam negeri. Ia mengatakan memenjarakan WP yang mangkir menjadi opsi terakhir.
Dalam UU HPP, pemerintah bahkan bisa memberi pengampunan pada WP yang di tengah proses hukum bersedia mengakui kurang bayarnya.
"Bahkan ketika kita masuk tahapan untuk menindak pidana perpajakan, kita selalu memberi kesempatan kepada WP yang mengaku salah," katanya.