Gianyar (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Daerah Made Mangku Pastika mengatakan fasilitas pengolahan sampah dan wisata edukasi Rumah Kompos Desa Adat Padangtegal, Ubud, Bali, patut dijadikan contoh bagi desa atau daerah lain dalam pengelolaan sampah berbasis desa adat.
"Amazing, luar biasa, Padangtegal ini patut menjadi contoh. Paling tidak dalam satu kabupaten bisa punya dua atau tiga tempat seperti ini," kata Pastika, saat berbincang dan usai menyaksikan video pengolahan sampah Rumah Kompos Desa Adat Padangtegal dalam penyerapan aspirasinya secara virtual dari Denpasar, Rabu.
Menurut mantan Gubernur Bali dua periode ini, sampah merupakan salah satu permasalahan yang cukup pelik untuk diselesaikan, termasuk juga di Bali.
Namun, tidak demikian halnya dengan di Desa Adat Padangtegal di Kabupaten Gianyar ini, manajemen pengelolaan sampahnya begitu baik, mulai dari pengangkutan hingga pengolahan menjadi kompos, memberikan wisata edukasi hingga menggunakan berbagai media sosialisasi untuk membangun kesadaran masyarakat.
"Menurut saya, warga desa di luar Desa Adat Padangtegal ini perlu 'ditularkan' sehingga di Gianyar ini bisa ada lebih dari satu," ucap anggota Komite 2 DPD RI itu.
Untuk mencontoh keberhasilan Desa Adat Padangtegal pun dirasa Pastika tidak sulit karena ini merupakan langkah yang kasat mata, tetapi memang diperlukan adanya kesadaran masyarakat untuk lebih peduli pada sampah yang dihasilkan, dimulai dari peran serta memilah sampah.
Pengelolaan dan pengolahan sampah berbasis desa adat di daerah wisata Ubud, Kabupaten Gianyar, inipun dirasa tepat dikembangkan di tengah nama Ubud yang begitu hebat dan terkenal hingga mancanegara.
"Menjadi lebih luar biasa lagi jika nantinya gas yang dihasilkan dari pengolahan kompos juga bisa digunakan untuk sumber energi listrik. Di samping pupuk yang dihasilkan juga dapat mengantongi sertifikat dari lembaga terkait," ujar mantan Kapolda Bali itu.
Sementara itu, Kadek Ardana selaku pembina Rumah Kompos Desa Adat Padangtegal mengatakan tempat pengolahan kompos dengan berbagai infrastrukturnya sudah dibangun sejak 2012.
Keinginan untuk membangun rumah kompos berawal dari banyaknya masyarakat yang berada di gang-gang di kawasan tersebut yang membuang sampah ke sungai karena tidak ada petugas pengangkutan sampah yang memberikan pelayanan hingga masuk gang.
"Jadi, awalnya ada 30 KK yang membuat mini landfill, sampah organik itu komposnya dimanfaatkan sendiri, sedangkan yang anorganik itu dijual," ucapnya.
Sebelum pandemi, rata-rata per hari dapat diangkut sampah organik hingga tiga truk dan saat ini sekitar dua truk, sedangkan untuk sampah anorganik diangkut dua hari sekali.
Sebagai upaya untuk mengedukasi masyarakat dan wisatawan, rumah kompos itu sengaja dibangun di areal wisata Monkey Forest, Ubud. "Kami juga melakukan edukasi hingga ke banjar-banjar (dusun), sosialisasi melalui pertunjukan wayang, cerdas cermat PKK, hingga menggelar kuis-kuis berhadiah.
Atas keberhasilan desa adat setempat dalam pengolahan sampah, sebelumnya telah mendapatkan penghargaan sebagai Desa Sadar Lingkungan, penghargaan dari sejumlah kementerian, hingga mendapatkan bantuan infrastruktur dari Kementerian PUPR.
"Yang jelas, kami ingin tetap bisa menjalankan visi menjadi percontohan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dan sekaligus mengedukasi perilaku masyarakat untuk membatasi sampah, peduli sampah dan memilah serta memanfaatkan sampah sehingga meminamilisasi pembuangan residu ke TPA," ucapnya, didampingi Manajer Operasional Dewa Gede Sathya Deva.
Di area seputar rumah kompos itu juga dilengkapi dengan kebun organik permakultur, tempat edukasi terbuka dan gedung teater pendidikan.