Denpasar (ANTARA) - Ketua PWI Bali, IGMB Dwikora Putra, mengusulkan penobatan Presiden ketiga Republik Indonesia BJ Habibie sebagai Bapak Kemerdekaan Pers. Usulan itu didukung peneliti media dari Universitas Udayana (Unud) Bali Dr Ni Made Ras Amanda Gelgel, S.Sos., M.Si, yang menyebut BJ Habibie sebagai presiden yang berperan dalam menghapus perizinan yang menghalangi penyelenggaraan media massa.
"Bagi kita sebagai orang pers, almarhum BJ Habibie adalah tokoh kunci dari kemerdekaan pers di Tanah Air, karena UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah produk UU pada era kepemimpinan beliau," kata Ketua PWI Bali, IGMB Dwikora Putra, di Denpasar, Jumat.
Oleh karena itu, pimpinan media cetak di Pulau Dewata itu menyatakan presiden ketiga RI itu layak dinobatkan sebagai Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia, karena ia memiliki peran penting bagi kalangan media dengan menandatangani UU Pers saat menjabat presiden atau tepatnya pada 23 September 1999.
"Jadi, sangat wajar kalau beliau dinobatkan sebagai Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia pada 23 September mendatang, karena UU Pers yang berusia hampir 20 tahun itu merupakan produk kepemimpinan beliau. Jadi, 23 September 2019 adalah momentum penobatan itu," katanya.
Apalagi, almarhum BJ Habibie sebagai tokoh demokrasi juga tidak pernah ada masalah dengan pers. "Beliau sangat demokratis dan menghargai pers. Pendek kata, almarhum adalah orang yang sangat berjasa kepada pers Indonesia," katanya.
Senada dengan itu, peneliti media dari Universitas Udayana (Unud) Bali Dr. Ni Made Ras Amanda Gelgel, S.Sos., M.Si, menyatakan sepakat dengan penilaian BJ Habibie sebagai Bapak Kemerdekaan Pers, karena di tangannya terjadi penghapusan SIUP (surat izin usaha pers).
"Dengan SIUP dihapus, maka keran kebebasan berekspresi terbuka, jadi beliau adalah Bapak Kemerdekaan Pers," kata dosen FISIP Unud itu.
Sementara itu, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Umar Ibnu Alkhatab menilai BJ Habibie memang tokoh yang sangat demokratis, bahkan tidak hanya kepada kalangan pers, namun otonomi daerah juga memiliki landasan kuat melalui UU Otonomi Daerah pada era BJ Habibie menjadi presiden.
"Pers dan daerah sangat diuntungkan dengan kepemimpinan beliau, karena otoritarianisme dan sentralisasi menjadi hilang, sehingga demokrasi semakin terbuka. Beliau melakukan desakralisasi kekuasaan dengan memberikan kemerdekaan yang sangat luas bagi kehidupan pers dan daerah," katanya.
Terkait kekecewaan sebagian masyarakat atas lepasnya Timor Timur dari NKRI, ia menilai langkah BJ Habibie terkait Timor Timur itu sebenarnya bukan sikap demokratis yang salah atau berlebihan, namun Timor Timur memang memiliki sejarah yang berbeda dengan Maluku, Papua, dan pulau-pulau lain di Indonesia.
"Ibaratnya, Timor Timur adalah kerikil yang ada dalam sepatu bernama Indonesia. Langkah Beliau sudah tepat, karena sejarah Timor Timur memang mirip kerikil yang akan selamanya mengganggu bangsa Indonesia untuk maju. Buktinya, keluarnya kerikil itu telah membuat bangsa ini bisa lebih leluasa untuk bergerak maju dan bangsa Timor Timur akhirnya justru belajar kepada kita," katanya.
Sementara itu, masyarakat Bali juga terlihat merasa kehilangan, seperti jamaah Musholla Al-Hidayah Gatsu, Jalan Gatsu VI, Lumintang, Denpasar yang langsung membacakan Surat Fatihah dan Yasin di musholla setempat setelah mendengar kepergian almarhum pada Rabu (11/9) malam atau bakda Sholat Isya'. Esok harinya atau Kamis (12/9) pagi, masyarakat Kota Denpasar pun terlihat mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berduka.