Jakarta (ANTARA) - Ilham Akbar Habibie, putra sulung Presiden ketiga RI BJ Habibie mengakui bahwa hoaks dan sejenisnya itu menjadi tantangan seiring kian populernya
penggunaan media sosial di masyarakat.
"Tantangan kita sekarang lebih ke medsos. Kalau kita menerapkan prinsip yang sama (dengan pers), akhirnya sebetulnya kembali kepada pembaca," katanya, setelah menerima kunjungan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang menyerahkan gelar kehormatan Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia kepada mendiang Habibie di Jakarta, Senin.
Menurut dia, masyarakat sebagai konsumen atau pembaca harus lebih jeli dalam mengkurasi, mencerna, dan memahami setiap informasi yang didapatkan dari medsos.
Pelarangan medsos akan menjadi langkah yang kontraproduktif, kata dia, mengingat pemerintah dan masyarakat juga perlu masukan atau informasi dari berbagai sumber di era keterbukaan informasi seperti sekarang.
"Kalau kita melarang orang menyatakan pendapatnya, saya kira itu juga akan tidak memaksimalkan informasi berkualitas yang bisa kita pilih sebagai konsumen," katanya.
Di sisi lain, diakui Ilham, melalui medsos kerapkali muncul hoaks, "fake news", "hate speech", "post thruth", dan sebagainya.
Baca juga: Ilham: hoaks, Habibie donorkan mata untuk putra bungsu
"Saya kira, kalau orang menghasut pada umumnya, di manapun saja, apa saja, baik dalam bentuk tertulis atau lisan, saya pikir ada konsekuensi hukumnya," katanya.
Artinya, kata dia, tetap ada rambu-rambu yang tidak boleh dilanggar, misalnya menyebarkan ujaran kebencian, berita bohong, apalagi hasutan terkait suku, agama, ras, antargolongan.
Baca juga: Henri Subiakto: hoaks jangan dibiarkan tanpa gugatan
Ilham mengatakan setiap negara juga menerapkan rambu-rambu seiring kebebasan informasi, seperti Jerman yang melarang kaitannya dengan penyebutan Nazi.
"Saya lama di Jerman jadi saya tahu. Kalau kita menyebut hal-hal, kayak misalnya Nazi gitu, enggak boleh. Karena, itu sensitivitas histori mereka. Di Indonesia mungkin ada yang serupa, SARA misalnya," katanya.
Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menganugerahi gelar kepada Presiden ketiga RI sebagai Bapak Kemerdekaan Pers Indonesia atas kebijakannya yang membuka keran kebebasan dan kemerdekaan pers di Indonesia.
"Kami sadar betul kebebasan pers didapatkan di era Pak Habibie," kata Ketua Umum PWI Atal S Depari, di kediaman mendiang BJ Habibie, di Jakarta, Senin.
Ia didampingi jajaran pengurus PWI, antara lain Sekretaris Jenderal PWI Mirza Zulhadi, dan Ketua Bidang Pengembangan Daerah PWI Akhmad Munir yang juga Direktur Pemberitaan Perum LKBN ANTARA.
Jajaran pengurus PWI ditemui putra sulung mantan presiden itu, Ilham Akbar Habibie, di kediaman Habibie, di Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Menurut Atal, Habibie semakin menegaskan komitmennya terhadap kemerdekaan pers dengan menandatangani UU Nomor 40/1999 tentang Pers. "Saya kira dari situ euforia pers muncul, sampai orang bilang kebebasan pers sudah jadi kebablasan," katanya.
Juga baca: Selamat jalan Bapak Dirgantara Indonesia, B.J. Habibie
Meski demikian, Atal mengatakan kebebasan pers harus terus dipertahankan, dan jangan ada lagi upaya membuat pers kembali terkekang.
Selamat jalan Habibie, kebijakannya yang berpihak kepada kemerdekaan pers yang telah diwariskan harus terus dipertahankan hingga masa mendatang.
"Kami berharap agar apa yang sudah diukir Pak Habibie tetap bertahan. Tidak boleh ada upaya membuat pers tidak bebas. Kami berharap tetap bebas sampai kapanpun, bebas yang bertanggung jawab," katanya.
Baca juga: PWI Bali: BJ Habibie, Bapak Kemerdekaan Pers
Sementara itu, Ilham Akbar Habibie merasa terhormat atas gelar yang diberikan PWI kepada sang ayah atas komitmen dan upayanya terhadap kemerdekaan pers.
"Dari dulu Bapak menerangkan kepada kami kenapa itu (kemerdekaan pers) diberikan begitu cepat, sebab kebebasan pers adalah pondasi negara yang berdemokrasi," katanya.
Kebebasan pers, kata dia, diperlukan sebagai upaya "check and balance" terhadap jalannya pemerintahan, karena sebelumnya seluruh informasi dimonopoli oleh negara.
"Bapak sangat merasakan, kualitas informasi yang didapatkan Bapak bisa bertentangan, karena ada banyak sumber yang harus tetap kita kurasikan sendiri. Tetapi, itu diperlukan," katanya.
Baca juga: BJ Habibie sempat minta ANTARA sebarkan prestasi Batam
Bagaimanapun, tegas Ilham, kemerdekaan pers menentukan kualitas pemerintahan karena elemen data dan informasi adalah bagian integral semua negara yang berdemokrasi.