Gianyar (ANTARA) - Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali I Wayan "Kun" Adnyana meresmikan Yayasan Wahana Dharma Sastra Made Sanggra, yang didirikan sebagai bentuk penghormatan atas jasa almarhum I Made Sanggra, seorang tokoh penulis senior dalam mengembangkan sastra Bali modern sejak tahun 1970-an.
"Pemprov Bali sangat memberikan apresiasi terhadap lembaga di luar pemerintah yang memiliki tujuan melestarikan seni dan sastra Bali. Pemprov Bali juga telah memberikan payung guna melindungi, mengembangkan seni dan sastra Bali diantaranya melalui Perda Berbahasa Bali dan Berpakaian Adat Bali," kata birokrat yang akrab dipanggil Kun Adnyana itu saat menyampaikan sambutan pada peresmian yayasan tersebut, di Desa Sukawati, Gianyar, Kamis.
Selain melalui Pesta Kesenian Bali, lanjut dia, juga ada kegiatan-kegiatan yang bertajuk seni dan sastra Bali seperti Festival Bali Jani, bulan berbahasa Bali dan kegiatan lainnya.
"Dengan lahirnya Yayasan Made Sanggra, kami optimistis, seni dan sastra Bali akan terus berkembang dan apa yang telah menjadi wacana sebelumnya sudah terjawab," ucapnya.
Semasa hidupnya I Made Sanggra berkomitmen melestarikan sastra Bali modern. Lahir di Banjar Gelulung Desa Sukawati tahun 1926, ayah dari tujuh orang anak itu memperoleh juara atas satua (cerita) berbahasa Bali yang berjudul "Katemu ring Tampak Siring". Kemudian oleh maestro seni Prof Dr I Wayan Dibia satua Made Sanggra inipun dijadikan garapan seni pertunjukan Arja yang tampil pada Pesta Kesenian Bali tahun 2005.
Selain itu, kumpulan puisi Made Sanggra yakni "Kidung Republik" Tahun 1997, memperoleh Penghargaan Sastra Rancage Tahun 1998. Kumpulan puisi itu sekaligus sebagai kumpulan puisi sastra Bali modern yang pertama mendapat Penghargaan Sastra Rancage. Bersama penulis senior Nyoman Manda, Made Sanggra sampai usia senja masih aktif menerbitkan majalah sastra Canang Sari.
Made Sanggra meninggal pada usia 81 tahun, tepatnya pada 20 Juni 2007. Sebagai penerus, 5 putranya kini bergulat pada bidang sastra. Diantaranya Prof Dr I Wayan Windia (guru besar di Fakultas Pertanian Unud); I Made Suarsa (dosen Fakultas Sastra Unud); Putu Suarthama (seorang penulis dan jurnalis); Made Suarjana (mantan jurnalis Majalah Tempo); serta Ketut Gde Suaryadala (Kepala Bidang Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Kota Denpasar). Sedangkan dua anak perempuan almarhum lebih memilih menjadi pelaku usaha di Pasar Seni Sukawati.
Tepat 12 tahun setelah kepergian almarhum, putra-putri berikut keluarga besarnya mendirikan Yayasan Made Sanggra ini. Ke depan, yayasan akan menjadi wadah pendidikan bagi generasi muda yang tertarik dengan sastra Bali modern.
Salah satu putra almarhum, I Made Suarsa mengatakan keinginan mendirikan yayasan merupakan cita-cita almarhum semasa hidup, yang oleh keluarga besarnya baru terwujud setelah 12 tahun meninggalnya Made Sanggra.
Setahun sebelumnya, keluarga besar almarhum juga meluncurkan sebuah buku kumpulan cerpen dan puisi Bali anyar berjudul "Bir Bali". "Setelah peluncuran buku Bir Bali itu, kami mulai ngobrol serius untuk mendirikan yayasan," katanya sembari mengenang pesan Made Sanggra agar ikut menghidupkan sastra Bali modern.
Sementara itu, Ketua Yayasan I Made Suarjana mengatakan yayasan ini akan menjadi tempat untuk berdiskusi, membedah dan melahirkan karya sastra Bali. Suarjana yang juga putra keempat almarhum menyebutkan salah satu pesan yang masih dikenang saat ini adalah berbahasa Bali agar jangan menjadi wacana, namun menjadi laksana dan bila tidak akan menjadi bencana.
Menurut dia, menjalankan misi dari almarhum untuk melestarikan bahasa dan sastra Bali dengan membentuk wadah sehingga seni sastra Bali bisa bangkit sejalan dengan perkembangan kebudayaan Bali yang juga dilandasi sastra-sastra Bali. Almarhum sendiri selain sebagai veteran, juga pernah duduk sebagai anggota DPRD Gianyar, membukukan Cerpen Berbahasa Bali "Ketemu Ring Tampaksiring," pupulan Puisi "Ganda Sari".
Budayawan Prof Dr I Wayan Dibia yang hadir memberikan sambutan menyebutkan dirinya banyak berguru dari almarhum Made Sanggra. Salah satu karya Cerpen, "Katemu Ring Tampaksiring," memberikan inspirasi buat penciptaan karya seni Arja.
"Beliau memiliki alur gramatik yang karya-karyanya bisa dijadikan sumber inspirasi," ujar Prof Dibia. Selain mewariskan seni dan sastra Bali kepada putra-putrinya, almarhum juga mewariskan bakatnya kepada beberapa seniman sastra Bali saat ini.
Usai peresmian, dibacakan beberapa puisi karya Made Sanggra, seperti puisi yang dibacakan Made Manda yang berjudul "Suara Saking Setra" yang mampu membius penonton yang hadir. Karya puisi ini memenangkan lomba karya puisi Listibya Bali tahun 1972 silam dan beberapa puisi lain juga dibacakan putra-putri almarhum.
Dalam acara peresmian yayasan tersebut nampak hadir beberapa "murid ideologis" almarhum Made Sanggra seperti Prof Wayan Dibia, Mas Ruscita Dewi dan seniman lain seperti Abu Bakar, Nyoman Erawan, Jengki Sunarta, Made Manda serta seniman lainnya dan masyarakat.