Bandarlampung (ANTARA) - Dinas Kesehatan Kota Bandarlampung menegaskan bahwa kabar adanya anggota TNI dari Kodim 0410/KBL yang meninggal akibat terpapar virus cacar monyet, adalah hoaks.
"Anggota TNI itu meninggal karena penyakit lain yang gejalanya hampir mirip dengan cacar monyet, yakni Sarcoma dan Pneumonia. Kemarin sudah disampaikan Dirjen P2P Kemenkes bahwa penyakit yang menyerang anggota TNI tersebut Sarcoma dan Pneumonia," kata Kepala Dinkes Bandarlampung Edwin Rusli di Bandarlampung, Minggu malam.
Menurut dia, daerah dengan sebutan "Kota Tapis Berseri" tersebut hingga saat ini masih aman dari penyebaran virus cacar monyet atau monkey pox.
"Virus tersebut memang ada, namun di sini masih belum ada yang terkena. Sebarannya juga baru di Singapura dan Batam," katanya.
Ia menjelaskan bahwa virus cacar monyet merupakan penyakit yang gejalanya hampir sama dengan cacar pada umumnya, yakni adanya peningkatan suhu tubuh dan bercak pada kulit yang diakibatkan oleh virus tertentu.
Saat ini, kata dia, penyebaran penyakit tersebut hanya berada di wilayah Singapura dan Batam, sedangkan di Bandarlampung belum ada laporan terkait dengan masyarakat yang mengidap penyakit itu.
"Yang saya tahu di Singapura dan Batam sudah ada yang terjangkit, di Singapura itu juga yang terjangkit pria Afrika, bukan warga asli sana," kata dia.
Baca juga: Kadinkes: hoaks, warga Batam idap cacar monyet
Indonesia tidak ada
Sebelumnya (17/5), Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono menegaskan kasus monkeypox tidak ada di Indonesia baik ditemukan pada manusia maupun virus yang berinang di hewan.
Anung menegaskan sebenarnya penyakit monkeypox merupakan penyakit yang bisa sembuh dengan sendirinya jika tidak ada super infeksi sehingga tidak usah panik, namun kewaspadaan perlu ditingkatkan.
"Sekali lagi hewannya adalah hewan yang saat ini diyakini masih berada di Afrika, kita tidak menemukan hal-hal semacam ini," kata Anung.
Dilaporkan sebelumnya seorang warga negara Nigeria menderita Monkeypox saat mengikuti lokakarya di Singapura. Saat ini pasien dan 23 orang yang kontak dekat dengannya diisolasi untuk mencegah penularan lebih lanjut.
Anung menegaskan pemerintah telah melakukan hal-hal pencegahan mulai dari perketat penjagaan di seluruh pintu masuk negara, dan pengamatan kunjungan orang dan perpindahan orang melalui Kantor Kesehatan Pelabuhan.
Selain itu Anung juga mengimbau masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat dengan rajin mencuci tangan terutama setelah memegang hewan, hindari kontak dengan hewan inang seperti monyet; tikus; dan tupai meski belum ada infeksi pada hewan inang, dan hindari makan daging hewan liar.
Upaya perlindungan personal
Sementara untuk orang yang bepergian ke daerah Afrika Tengah, Kemenkes memastikan akan memberikan perlindungan yang cukup melalui upaya-upaya personal.
Selain itu apabila masyarakat mengetahui ada tetangga atau kerabat yang baru pulang dari daerah dengan potensi monkeypox untuk segera berkunjung ke fasilitas kesehatan apabila terdapat gejala dalam masa inkubasi.
"Yaitu pada masa empat sampai 21 hari setelah kepulangan memiliki gejala panas, kemudian pegal-pegal seluruh tubuh, sakit kepala hebat, ada pembesaran kelenjar getah bening di ketiak atau tempat lain, atau kulit yang melepuh," kata Anung.
Monkeypox adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui binatang (zoonosis). Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau lesi pada kulit atau mukosa dari binatang yang tertular virus.
Penularan pada manusia, menurut Anung, terjadi karena kontak dengan monyet, tikus gambia dan tupai, atau mengonsumsi daging binatang yang sudah terkontaminasi. Inang utama dari virus ini adalah rodent (tikus). Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang.
Wilayah terjangkit Monkeypox secara global yaitu Afrika Tengah dan Barat seperti Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Kamerun, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Ivory Coast, Liberia, Sierra Leone, Gabon dan Sudan Selatan.
Baca juga: Hoaks picu bentrok dua dusun di Lampung Tengah