Denpasar (Antaranews Bali) - Asosiasi Pedagang Valuta Asing (APVA) Bali meminta pemerintah provinsi setempat untuk menertibkan "money changer" atau tempat penukaran valuta asing ilegal dan bermain curang menipu wisatawan mancanegara.
"Oleh karena itu, kami harapkan ada peraturan daerah yang mengatur sehingga Satpol PP bisa bertindak. Hanya di Bali ada praktik nakal 'money changer' ilegal seperti ini," kata Ketua APVA Bali Ayu Astuti Dharma, di Denpasar, Jumat.
Tempat penukaran valas (money changer) yang sebelumnya harus mengantongi surat keterangan tempat usaha (SKTU), ujar Ayu, tidak cukup kuat untuk bisa menindak jika ada yang berlaku curang.
"Dengan SKTU karena tidak ada ranah hukumnya menyebabkan Satpol PP tidak bisa menindak. Selain itu, kami mendorong Bank Indonesia bisa membuat aturan baru untuk membuka 'money changer' juga harus memiliki SIUP," ucap Ayu.
Menurut Ayu, "money changer" nakal tersebut umumnya melakukan praktik curang kepada wisatawan asing dan bukan kepada wisatawan domestik. Bahkan ada yang menipu wisatawan asing dalam satu kali transaksi kisaran Rp3-5 juta.
"Setelah menipu, mereka biasanya langsung menutup usahanya. Praktik curang tersebut, tentunya sangat merugikan usaha jasa penukaran resmi," ucapnya.
Selain itu, pihaknya juga mendukung tindakan tegas Pemprov Bali sebelumnya terhadap travel agent dari Tiongkok yang bermain curang dalam praktik penukaran valuta asing (valas) di Bali dan maraknya pembayaran dengan menggunakan Wechat (aplikasi e-wallet di smartphone).
Ayu mengatakan penggunaan WeChat Pay dalam bertransaksi ini ilegal, karena mereka tidak menggandeng perusahaan domestik dalam memproses transaksinya.
Ada dua praktik ilegal yang digunakan dalam transaksi ini. Pertama, menggunakan mekanisme transfer antar akun WeChat Pay. Jadi uangnya tidak masuk ke Indonesia, tetapi tetap berada di sistem keuangan China dan menggunakan yuan.
Cara lainnya, para pemilik merchant nakal asal Tiongkok tersebut membawa mesin electronic data capture (EDC) langsung dari negaranya dan bertransaksi di sana.
Cara ini pun merugikan Indonesia karena dananya tak masuk Indonesia. Selain itu maraknya "money changer" liar juga berpotensi dapat dimanfaatkan untuk kejahatan pencucian uang, kejahatan narkoba dan pendanaan kegiatan terorisme yang dapat merugikan negara.
"Bali adalah gate yang dilewati sekitar 40 persen wisatawan mancanegara ke Indonesia dengan pariwisata sebagai 'core economy' Indonesia. Sumbangan Bali ke devisa saat ini sekitar Rp70 triliun setahun. Tidak hanya itu, sektor pariwisata juga menjadi tumpuan perekonomian masyarakat Pulau Dewata," ucap Ayu. (ed)
APVA minta Pemprov Bali tertibkan "money changer" ilegal
Jumat, 22 Februari 2019 14:49 WIB