Gianyar (Antara Bali) - Pande Ketut Nalan, seorang pembuat keris pusaka di Bali, mengatakan bahwa profesi yang ditekuninya selama ini berisiko tinggi karena selalu berhubungan dengan api.
"Membuat keris memerlukan konsentrasi tinggi serta kekuatan fisik. Kalau tidak, tubuh bisa melepuh atau nyawa melayang karena terbakar api," kata salah seorang pembuat keris pusaka asal Banjar Babakan, Desa/Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, itu Sabtu.
Karenanya, pembuat keris harus berpegang teguh pada hitungan "niskala" (mistis) yang sudah tertera dalam buku sastra warisan leluhur, ujarnya.
Pria yang lahir tahun 1945 itu menegaskan bahwa kalau tidak mengerti mengenai sastra yang dikenal sebagai "panca bayu" tersebut, sesuai pesan leluhurnya lebih baik tidak usah membuat keris.
"Jika pesan leluhur itu tidak dijadikan landasan aturan, maka tubuh tidak akan tahan oleh percikan api di tungku pemandian atau tempat membuat keris," katanya.
Dengan berbekal dan melaksanakan pesan warisan leluhur itu, kata Nala, sampai saat ini dirinya tidak pernah mengalami masalah meskipun setiap hari bergelut dengan panasnya api.
"Sejak duduk di bangku sekolah dasar, setiap harinya selama satu jam saya bergelut dengan api. Sampai sekarang hal itu masih kami lakukan, kecuali ada upacara agama," ujarnya seraya menjelaskan bahwa dirinya berpedoman atau selalu menjalankan amanah sang kakek buyut, almarhum Jero Pande Sarga.
Karena karyanya dianggap bertuah, keris buatan Nala diminati oleh penekun spiritual atau kolektor keris.
Untuk satu keris, kata Nala, dijual dengan harga sekitar Rp5 Juta, dengan proses pengerjaan selama satu bulan.
"Keris yang ini kami jual untuk perhiasan saja. Kalau untuk pusaka yang disakralkan, kami tidak sembarang membuat dan tidak bisa dihargakan. Kami biasanya tidak menghargakan keris itu, jika untuk kepentingan ritual atau pusaka," katanya.
Proses pembuatan keris hiasan dengan pusaka juga berbeda. Kalau pembuatan keris hiasan cukup digiling atau dipande sebanyak lima kali, edangkan keris pusaka digiling 10 kali, dan pada proses pembuatan mesti menghaturkan sesajen.
"Sesajen itu dihaturkan di tempat pembuatan dan dimana keris itu akan 'dilinggihkan' atau 'diistanakan'," ujarnya.
Biasanya, kata Nala, keris itu bertuah setelah melalui proses ritual atau upacara. "Sesudah upacara, keris akan memancarkan kekuatan," ucapnya.
Ia mengaku sampai saat ini sudah berhasil membuat ratusan keris pusaka. "Rata-rata untuk 'ngunying' atau tarian sakral menusuk diri, serta untuk dipuja," tambahnya.(*)