Sanur (Antaranews Bali) - Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri mengatakan penyiapan tenaga kerja terampil menjadi tantangan terbesar yang harus dihadapi dan dimitigasi secara tepat dalam menghadapi tantangan ekonomi digital.
"Tidak dapat dipungkiri bahwa digitalisasi ekonomi juga berdampak terhadap perubahan dan pergeseran tenaga kerja. Bahkan hasil studi McKinsey (2016) menyebutkan bahwa dalam lima tahun ke depan sebanyak 52,6 juta lapangan pekerjaan akan tergantikan oleh otomatisasi yang mengikuti tren global," kata Hanif saat menyampaikan sambutan pada Forum Hubungan Industrial 2018 bertajuk Penguatan Dialog Sosial Menghadapi Tantangan pada Era Revolusi Industri 4.0 di Sanur, Denpasar, Bali, Senin.
Mengikuti tren global, lanjut dia, 60 persen pekerjaan akan mengadopsi sistem otomatisasi dan 30 persen akan menggunakan mesin berteknologi digital. Di sisi lain, teknologi digital juga menciptakan 3,7 juta pekerjaan baru dalam tujuh tahun ke depan dan mayoritas berada pada sektor usaha jasa.
Namun, ujar Hanif, "bahan baku" ?tenaga kerja yang dimiliki Indonesia terbilang ?menantang karena dari jumlah total angkatan kerja sebanyak 133 juta jiwa, tetapi lebih dari 58 persennya merupakan lulusan SD dan SMP.
"Tantangannya bagaimana membuat mereka (tenaga kerja) itu dilengkapi skill yang baik, bisa produktif dan punya karir dalam pekerjaan. Suka tidak suka itu bahan baku kita, Indonesia harus tetap maju, Indonesia harus sejahtera," ujarnya.
Menurut Hanif, untuk mencapai tujuan tersebut, tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah harus bekerja sama dengan dunia usaha, dengan industri, dengan serikat pekerja dan elemen masyarakat sipil lainnya.
Dia mengemukakan, Kementerian Ketenagakerjaan sendiri telah melakukan langkah-langkah terobosan guna memperkuat akses pelatihan kerja yakni ?melalui modernisasi Balai Latihan Kerja (BLK) dengan program "revitalisasi, rebranding, dan re-orientasi".
Di samping itu, mengembangkan program magang yang mengacu pada kebutuhan pasar kerja berbasis teknologi digital dan didukung kurikulum sesuai Standar Kualifikasi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) dan standar internasional, dan penataan sistem pasar kerja fleksibel melalui kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha.
Lewat kegiatan Forum Hubungan Industrial yang berlangsung dari 8-10 Oktober tersebut, Hanif mengharapkan dapat dicarikan masukan dan solusi, serta meningkatkan dialog sosial dalm konteks tripartit, yakni mempertemukan pemerintah, dunia usaha, dan serikat pekerja untuk membahas isu-isu kontemporer di bidang ketenagakerjaan.
"Termasuk tantangan menghadapai Revolusi Industri 4.0 dalam penyiapan tenaga kerja, perubahan pola hubungan kerja yang tentunya membutuhkan terobosan dari pemerintah dan dunia usaha. Yang diharapkan adanya pemetaan yang lebih baik terhadap tantangan Revolusi Industri 4.0 dalam kaitan hubungan industrial, seperti tenaga kerja, PHK, kemitraan dan sebagainya," ucapnya.
Di sisi lain, tatanan hubungan industrial juga harus mampu merespons dampak perubahan yang ditimbulkan ekonomi digital. Oleh karena itu, menurut Hanif, terdapat beberapa langkah strategis yang harus diupayakan, antara lain penyiapan regulasi bidang hubungan industrial yang adaptif terhadap perubahan ekonomi digital.
Selain itu, penyiapan mediator hubungan industrial yang berintegritas, profesional dan inovatif sebagai pembina hubungan industrial sekaligus ujung tombak penyelesaian perselisihan hubungan industrial serta pengembangan dialog-dialog sosial bipartit dan tripartit untuk mengatasi permasalahan dan sengketa hubungan industrial. (WDY)