Denpasar, (Antaranews Bali) - Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar, Provinsi Bali, menghukum terdakwa I Made Susila (50) selama 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta.
"Terdakwa terbukti melakukan korupsi pengadaan alat kesehatan di RSUD Mangusada, Badung, mencapai Rp5,4 miliar dan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tipikor jo Pasal 55 Ayat 1 KUHP," kata Ketua Majelis Hakim Wayan Sukanila di Denpasar, Rabu.
Hakim juga menghukum terdakwamembayar uang pengganti sebesar Rp5,4 miliar, dengan ketentuan apabila uang pengganti itu tidak dibayar setelah perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita dan kemudian dilelang. "Apabila harta bendanya tidak cukup, maka diganti dengan pidana penjara selama setahun," kata hakim.
Vonis hakim itu, lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Wayan Suardi yang sebelumnya menuntut terdakwa selama dua tahun penjara. Namun, denda dan subsider yang dijatuhkan hakim sama dengan tuntutan jaksa. Hal yang meringankan terdakwa menurut hakim karena belum pernah dihukum, sopan dalam persidangan dan terdakwa telah menitipkan tiga buku sertifikat tanah sebagai pengganti kerugian keuangan negara.
Ketiga buku sertifikat tanah itu berlokasi di Tangerang dan erdasarkan penghitungan "appraisal" nilai tanah tersebut mencapai Rp5,8 miliar atau melebihi dari nilai pengembalian kerugian keuangan negara sebesar Rp5,4 miliar.
Kasus ini mencuat berawal dari RSUD Mangusada Badung mengadakan pengadaan alat kedokteran, kesehatan, KB, dan kendaraan khusus yang sumber dananya dari APBN Tahun 2013 yang disampaikan kepada Kementerian Kesehatan melalui Dinas Kesehatan Provinsi Bali sebesar Rp40,9 miliar.
Namun, Kementerian Kesehatan menyetujui Rp25 miliar untuk RSU Mangusada Badung dan menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), dr Agus Bintang Suryadi selaku Direktur RSU Mangusada Badung dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dr I Made Nurija yang juga mempunyai tugas dan tanggung jawab menyusun harga perkiraan sendiri (HPS).
Singkat cerita, terdakwa bekerja sama dengan Sukartayasa untuk menjadi salah satu perusahaan yang bisa menjadi acuan HPS, dimana terdakwa diminta untuk menyiapkan perusahaan fiktif dan bisa ikut tender.
Kemudian, terdakwa meminta Sukartayasa untuk menghubungi I Nyoman Artawan guna bisa membantu mencari rekanan untuk membandingkan atau menjadi dasar HPS.
Dalam perjalanannya, terdakwa bersama Sukartayasa (yang telah divonis bersalah dalam sidang sebelumnya) membuat pengeluaran definitif dengan realisasi penerimaan barang yang diterima.
Dimana, realisasi pengeluaran definitif Rp19,2 miliar lebih sedangkan realisasi barang yang diterima seharga Rp12,9 miliar lebih, sehingga terjadi selisih Rp5,2 miliar yang menjadi temuan berdasarkan perhitungan BPKP Perwakilan Bali dan dianggap merugikan keuangan negara.
Koruptor alat kesehatan Badung dihukum 1,5 tahun
Rabu, 3 Oktober 2018 19:06 WIB