Sebelum sampai ke konsumen, distribusi gas elpiji ukuran 3 kilogram yang disubsidi pemerintah harus melewati jalan panjang mulai dari Pertamina, agen, pangkalan, pengecer, hingga warung.
Alur distribusi gas elpiji tersebut disampaikan Koordinator Agen Elpiji Jembrana Nyoman Cahyadi serta sejumlah pemilik pangkalan. Ia mengatakan dari Pertamina lewat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Elpiji (SPBE), elpiji disalurkan ke para agen yang melanjutkan distribusi ke pangkalan.
"Tugas pangkalan adalah melanjutkan distribusi ke pengecer-pengecer. Dari pengecer sangat mungkin menjualnya ke warung-warung tempat konsumen sehari-hari membeli," katanya di Negara, Jumat.
Menurut dia, dengan alur distribusi tersebut, sangat sulit mengawasi harga maupun pasokan ke warung-warung yang berasal dari pengecer, termasuk indikasi terjadi permainan harga saat kebutuhan masyarakat meningkat, seperti bertepatan dengan hari raya.
Sebenarnya pihak warung bisa mengambil langsung ke pangkalan dengan harga sesuai ketetapan pemerintah. Akan tetapi bisa jadi rata-rata pemilik warung memilih menunggu pasokan dari pengecer yang datang dengan mobil.
"Dalam alur ini, warung memilih untuk menunggu, dibandingkan membeli langsung ke pangkalan," katanya.
Dengan alur distribusi yang panjang tersebut, ia tidak menampik, sebelum sampai ke masyarakat, epliji ukuran tiga kilogram melewati beberapa jenjang, yang saat sampai ke pengecer sulit untuk mengawasinya.
Ia mengatakan agen maupun pangkalan tidak mungkin mempermainkan harga apalagi menimbun elpiji bersubsidi karena mereka terikat perjanjian dengan Pertamina.
"Kalau kami atau pangkalan main-main bisa dicabut posisi kami oleh Pertamina. Tapi kalau pengecer memang sulit, karena tidak ada aturan yang mengikat mereka, kecuali tertangkap basah melakukan penimbunan baru ada hukum pidana," katanya.
Sesuai dengan ketetapan pemerintah, agen menjual elpiji tiga kilogram kepada pangkalan seharga Rp13.500 dan pangkalan menjual kepada pengecer Rp14.500.
Yang disebut pengecer, katanya, selain warung juga orang-orang yang membeli dari pangkalan meskipun dijual kembali ke warung.
"Sebenarnya kami sudah imbau agar warung membeli langsung dari pangkalan sehingga mendapatkan harga Rp14.500, tapi kenyataannya masih banyak warung yang mengandalkan kiriman dari pengecer lainnya," katanya.
Situasi distribusi seperti itu dibenarkan oleh Krisna, salah seorang pemilik pangkalan elpiji di Kecamatan Negara.
Ia mengaku jarang ada pemilik warung yang membeli langsung ke pangkalannya.
Ia mencontohkan, pangkalan elpiji miliknya di Desa Pengambengan, yang sering masih tersisa padahal dirinya tidak terlalu banyak menaruh elpiji di lokasi tersebut.
"Saat katanya sulit mendapatkan elpiji di Desa Pengambengan, stok masih tersedia di pangkalan saya. Agar masyarakat bisa mendapatkan elpiji, saya mendistribusikan langsung ke warung-warung," katanya.
Masih jarangnya warung membeli langsung elpiji ke pangkalan, karena banyak dari mereka menyangka mobil bak terbuka yang biasanya membawakan elpiji merupakan milik pangkalan.
"Padahal banyak pengecer yang membeli ke kami lalu menjual ke warung. Saran saya lebih baik datang langsung ke pangkalan, sehingga bisa mendapatkan elpiji seharga Rp14.500," katanya.
Cahyadi dan Krisna sependapat, meskipun dari pangkalan sudah dipatok harga Rp14.500 per tabung, karena harus melewati pengecer kemudian ke warung membuat harga bahan bakar ini melonjak saat sampai ke konsumen.
"Karena sebagai penjual ke warung, pengecer otomatis akan mengambil untung. Dari warung ke masyarakat kembali mengambil untung. Lain halnya kalau warung yang juga sebagai pengecer mengambil langsung ke pangkalan," kata Cahyadi.
Sebagai koordinator agen, ia berjanji menyampaikan persoalan-persoalan distribusi di bawah kepada Pertamina, agar menjadi bahan evaluasi dan perbaikan.
Kepada masyarakat maupun awak media, ia juga minta agar cepat memberikan informasi ke agen maupun pangkalan, jika terjadi kelangkaan elpiji tiga kilogram agar segera dipasok.
Untuk pasokan gas elpiji tiga kilogram ini, Krisna dan pemilik pangkalan lainnya siap mengirimkan ke mana saja sesuai dengan wilayah masing-masing.
"Saat masyarakat sulit mendapatkan elpiji, di pangkalan belum tentu tidak ada. Asal kami diberikan informasi, kami akan mengirimkan pasokan ke wilayah yang masyarakatnya kesulitan mendapatkan elpiji tiga kilogram," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, berdasarkan pasokan ke masing-masing pangkalan, Kabupaten Jembrana mendapatkan jatah 16.240 tabung elpiji tiga kilogram setiap hari.
Jumlah itu sudah berdasarkan perhitungan Pertamina terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga tidak seharusnya terjadi kelangkaan.
"Kami juga minta agar setiap jenjang distribusi melaksanakan tugasnya dengan baik. Jangan melakukan permainan harga apalagi penimbunan, karena bahan bakar ini disubsidi pemerintah untuk meringankan masyarakat," kata Cahyadi seraya menambahkan agen bisa mencabut status pangkalan jika berbuat curang.
Menjelang Hari Raya Kuningan dan Idul Fitri beberapa waktu lalu, masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Jembrana kesulitan mendapatkan elpiji ukuran tiga kilogram.
Alfina Laila, salah seorang warga Desa Pengambengan, mengeluh karena sampai harus menumpang masak di rumah saudaranya yang masih memiliki elpiji.
"Sudah keliling mencari di warung-warung tidak ada. Padahal menjelang hari raya begini, kebutuhan memasak lebih banyak," katanya.
Kosongnya elpiji tiga kilogram saat itu dibenarkan oleh Watik, pemilik warung di Desa Pengambengan dan Salihin, pemilik warung di Desa Cupel.
Mereka mengaku, meskipun habis, sudah beberapa hari tidak ada pasokan elpiji, yang biasanya menggunakan mobil bak terbuka.
Selain dua desa itu, informasi sulitnya masyarakat mendapatkan bahan bakar bersubsidi tersebut juga terjadi di Desa Batu Agung, Kecamatan Jembrana dan Yehembang, Kecamatan Mendoyo.
Selain kosong, sejumlah warga mengaku harus membeli elpiji subsidi tersebut dengan harga yang mahal, yaitu antara Rp20 ribu hingga Rp22 ribu per tabung.
Bagi masyarakat, meskipun harganya naik, hal yang terpenting bagi mereka adalah ketersediaan gas tersebut, karena merupakan kebutuhan pokok masyarakat.
"Sudah mahal barangnya juga tidak ada, kan menyulitkan masyarakat," kata Indayana, salah seorang warga Desa Pengambengan yang harus mencari elpiji hingga salah satu SPBU yang jauh dari rumahnya.
Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Jembrana Made Budhiarta yang dikonfirmasi saat itu, membantah kelangkaan elpiji.
Namun, ia berjanji mengecek ke lapangan.
Tidak berapa lama setelah itu, mobil-mobil pengangkut elpiji ukuran tiga kilogram tampak mendatangi warung-warung di Desa Pengambengan dan Cupel. Namun, setiap warung hanya dijatah lima tabung.
"Yang di Desa Pengambengan pasokan berasal dari saya. Memang dibatasi lima agar merata, dan distribusi saat itu saya lakukan sampai menjelang dinihari," kata Krisna.
Selain distribusi, untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi juga menggelar pasar murah, dengan salah satunya menjual elpiji tiga kilogram 300 tabung yang langsung habis diserbu pembeli.
Dengan kelangkaan elpiji subsidi menjelang hari raya, beberapa pihak termasuk masyarakat bertanya-tanya, terkait distribusi bahan bakar tersebut.
Beberapa orang yang minta namanya tidak disebutkan, mengatakan seharusnya kedatangan hari raya sudah diantisipasi untuk pasokan elpiji, karena pasti kebutuhan masyarakat untuk memasak meningkat drastis.
"Sebagai orang awam saya tidak tahu bagaimana sistem distribusi elpiji, tapi sederhana saja menjelang hari raya pasti masyarakat lebih banyak memasak sehingga sudah seharusnya pasokan elpiji ditambah," kata Yono, salah seorang warga Desa Pengambengan yang harus keliling hingga desa lain untuk mendapatkan elpiji tiga kilogram.
Tahun ini, di Pulau Bali, hari raya umat Hindu, yaitu Galungan dan Kuningan hampir bersamaan waktunya dengan hari raya umat Islam, yaitu Idul Fitri.
Saat hari raya tersebut, masyarakat memasak berbagai kue dan sajian lainnya yang membuat kebutuhan elpiji meningkat.
Seperti yang disampaikan Cahyadi dan sejumlah pemilik pangkalan elpiji, distribusi memegang peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat.
Pengawasan dan penindakan terhadap oknum yang mempermainkan barang bersubsidi yang menyentuh kebutuhan hidup orang banyak ini, juga harus dilakukan.
Gas elpiji saat ini sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok, setelah minyak tanah hilang dari peredaran.
Selain itu, agar saat sampai ke masyarakat harga tidak melonjak jauh, diperlukan pemutusan mata rantai distribusi yang panjang mulai dari Pertamina hingga warung.
Seperti yang disarankan Krisna, sebaiknya warung yang berhubungan langsung dengan konsumen, membeli sendiri ke pangkalan-pangkalan yang ada di setiap desa dibandingkan dengan menunggu pengecer lainnya.
Dengan makin pendeknya rantai distribusi, otomatis harga yang dibayar konsumen tidak terlalu besar. Hal itu, juga untuk menghindari permainan harga oleh oknum tidak bertanggung jawab. (ed)