Denpasar (Antaranews Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB), lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia di Ketewel, Kabupaten Gianyar menggelar Pameran Topeng dan Pertunjukan Tari, menghadirkan seniman Samadi dan penari Luh Menek berlangsung selama delapan hari, 24 Februari-3 Maret 2018.
"Kedua seniman andal tersebut merupakan penerima Anugerah Bentara Budaya tahun 2017 dan pembukaan pameran akan dilakukan budayawan Bali Prof Dr I Wayan Dibia," kata Penata kegiatan tersebut Putu Aryastawa di Denpasar, Jumat.
Pameran topeng karya Samadi yang berlangsung selama delapan hari itu juga dimeriahkan dengan workshop dan demonstrasi membuat topeng yang berlangsung selama dua hari, Minggu (25/2) dan Senin (26/2).
Kegiatan tersebut merupakan rangkaian program memaknai 35 tahun Bentara Budaya yang dirayakan 26 September 2017. Kala itu, Bentara Budaya menyerahkan Penghargaan Pengabdi Seni Budaya kepada tujuh tokoh, antara lain penari Luh Menek, penggerak teater Rudolf Puspa, pelestari topeng Samadi, penggiat akapela 'mataraman Pardiman Djoyonegoro, penghidup wayang potehi Toni Harsono, penelaah sastra Betawi Abdul Chaer, dan tokoh ludruk serta ketoprak Kirun.
Ni Luh Menek, salah satu dari para maestro Bali yang mengabdikan seluruh hidupnya dalam bidang seni tari. Kelahiran tahun 1939 di Jagaraga, Buleleng itu juga berhasil mengangkat nama Desa Tejakula sebagai sebuah ikon yang identik dengan spesialis tari yang digeluti.
Ia juga dikenal sebagai penari yang memiliki kekhasan gaya tari Buleleng, seperti Teruna Jaya, Palewakya, dan Cendrawasih. Cirinya yang paling menonjol adalah gerakannya yang enerjik, agresif, serta perpaduan antara gaya yang manis dan kelembutan.
Bagi Luh Menek, tari merupakan saudara yang baik dan hingga sekarang tak pernah berpisah. Atas dedikasinya, Luh Menek telah menerima berbagai penghargaan dari Pemerintah Provinsi Bali.
Sementara itu menurut Samadi, mengabdi pada seni topeng klasik itu susah, terlebih di era serba modern seperti sekarang.
"Kini banyak orang-orang di daerah kami yang memilih jalan pintas membuat topeng yang lebih sederhana (modern). Untuk tetap bertahan di jalur topeng klasik diperlukan dedikasi yang tinggi. Yang paling penting itu komitmen untuk tetap melestarikan budaya dari nenek moyang agar tidak punah, karena tidak semua orang bisa membuat topeng klasik," ujar Samadi. (WDY)