Negara, (Antaranews Bali) - Pola tangkap yang dilakukan nelayan di Kabupaten Jembrana, wilayah barat Pulau Bali mengalami perubahan dari masa ke masa, namun sayangnya di era kekinian kurang bisa menjaga habitat ikan.
"Paceklik panjang hasil tangkap laut yang terjadi saat ini, tidak bisa dilepaskan dari pola tangkap yang dilakukan nelayan. Pola atau cara tangkap ini menjadi salah satu faktor paceklik ikan, selain ada faktor lain seperti perubahan iklim, pencemaran dan lain-lain," kata Kepala Dinas Kelautan, Perikanan Dan Perhubungan Jembrana Made Dwi Maharimbawa, di Negara, Selasa (13/2).
Ia mengatakan, pola tangkap dengan kuantitas yang tidak terkendali menggunakan perahu-perahu selerek yang mampu menampung 30 sampai 40 ton ikan, membuat habitat ikan lemuru sebagai ikan endemi di Selat Bali dengan cepat berkurang.
Dengan jumlah ratusan perahu selerek yang bertahun-tahun mengeruk ikan di Selat Bali, ia mempersilakan nelayan untuk menghitung, membayangkan atau memperkirakan volume ikan yang mereka tangkap setiap hari.
"Bahkan yang tertangkap jaring tidak hanya ikan dewasa, tapi juga yang masih kecil yang oleh nelayan setempat disebut ikan protolan. Kalau masih kecil-kecil saja ditangkap, kapan waktunya ikan lemuru bisa berkembang biak?" katanya.
Namun ia mengakui, sulit untuk memberikan penyadaran kepada nelayan, apalagi larangan karena gejolak protes pasti akan muncul berkaitan dengan nafkah sehari-hari mereka.
Pola penangkapan ikan nelayan di Kabupaten Jembrana dengan Desa Pengambengan, Kecamatan Negara sebagai sentranya merupakan perjalanan sejarah yang panjang.
KH. Sya`rani Yasin, salah seorang tokoh Desa Pengambengan yang pada masa mudanya juga menjadi nelayan mengatakan, perahu jenis selerek mulai dikenal nelayan desanya sekitar tahun 1988.
Saat pertama dibuat dan digunakan oleh nelayan, menurutnya, ukuran perahu selerek tidak sebesar saat ini meskipun pola kerja dan tangkapnya sama.
Sebelum itu, ia mengatakan, nelayan hanya menggunakan sampan tanpa mesin untuk menangkap lemuru dengan jumlah yang terbatas.
"Kami hanya mengandalkan dayung dan layar untuk mengarahkan sampan. Penangkapan juga tidak dengan menebar jaring, tapi menyerok," katanya.
Alat serok nelayan saat itu, adalah berupa lingkaran kawat tebal yang dipasangi jaring dan disambungkan dengan galah sebagai pegangan.
Dengan alat ini, ikan yang ditangkap juga tidak terlalu banyak, karena diameter lingkaran maupun kedalaman yang bisa dicapai sangat terbatas.
"Selain itu sampan juga tidak mampu menampung banyak ikan. Waktu itu dapat ikan lima kwintal saja sudah banyak, kalau dipaksakan sampan bisa tenggelam keberatan beban," katanya.
Ia mengatakan, ikan yang hasil tangkapan dijual kepada pengepul ikan di dermaga sederhana yang sekarang menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara Pengambengan.
Sebagai orang yang pernah mengalami masa-masa menjadi nelayan dengan pola yang sederhana, namun ramah terhadap lingkungan dan habitat ikan, tokoh ini memiliki impian terhadap perubahan pola menangkap ikan, agar keberadaan ikan di Selat Bali terus terjaga.
Baca juga: Pembatalan larangan cantrang tidak pengaruhi nelayan Jembrana
"Tentu disesuaikan dengan zaman modern saat ini. Contohnya peralatan tetap modern, tapi ada kesepakatan nelayan untuk membatasi hasil tangkap," katanya.
Berkaitan dengan pembatasan hasil tangkap ini, ia mengaku, beberapa waktu lalu pernah diundang menghadiri pernikahan di daerah Juwana, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah.
Di kawasan itu, menurutnya, mata pencaharian mayoritas penduduk juga nelayan seperti Desa Pengambengan, namun yang membedakan disana ada pembatasan penangkapan ikan.
"Setiap perahu hanya boleh menangkap lima ton ikan. Dengan pembatasan itu, dari percakapan dengan warga sana, ikan di laut wilayah itu terus ada," katanya.
Meskipun sudah tidak lagi menjadi nelayan, pengasuh Pondok Pesantren Darussalam Pengambengan ini berharap, ada tindakan atau kesepakatan bersama antara nelayan dengan pemerintah, karena paceklik ikan yang akhir-akhir ini sering terjadi dengan durasi waktu yang semakin panjang sangat berdampak terhadap perekonomian masyarakat.
Ia bisa menyadari, pembatasan ini akan memberatkan atau memunculkan keberatan dari kalangan nelayan, namun pola ini harus dirintis agar ikan di Selat Bali bisa dinikmati sampai anak cucu.
"Kita tinggal disini tentu sampai turun temurun. Menurut saya, tinggalkan sesuatu yang baik untuk anak cucu kita, termasuk ikan di laut," katanya.
Penerapan pembatasan tangkapan ikan memang bukan sesuatu yang sederhana dan mudah, karena berhadapan dengan kebiasaan nelayan Kabupaten Jembrana yang sudah berlangsung puluhan tahun, serta bersentuhan langsung dengan penghasilan mereka.
Namun, jika seluruh pihak menggunakan pikiran dan hati yang jernih dengan mengevaluasi hasil tangkap yang dari tahun ke tahun kian menurun dan tidak menentu, sangat masuk akal jika harus ada jalan perubahan pola tangkap.
Sampan berbahan fiber yang saat ini mulai banyak digunakan nelayan, mungkin bisa menjadi opsi atau pilihan rintisan untuk pola tangkap yang lebih terkendali.
Dari kalangan nelayan diperoleh keterangan, sampan fiber ini bisa berfungsi untuk menjaring ikan maupun memancing, dengan biaya operasional yang jauh lebih murah dibandingkan perahu selerek.
Bahkan beberapa nelayan melakukan ujicoba dengan meniru pola perahu selerek, yaitu melaut dengan cara berpasangan dengan satu sampan untuk memuat jaring dan satunya lagi untuk menampung ikan.
Dengan ukuran sampan yang jauh lebih kecil dibandingkan perahu selerek, hasil tangkapan maksimal yang bisa mereka tampung hanya mencapai lima ton bahkan kurang.
Beberapa nelayan yang menggunakan sampan fiber mengatakan, mereka mendapatkan hasil yang lumayan karena meskipun hanya mampu memuat sedikit ikan, hasilnya juga dibagi untuk sedikit orang yang menjadi awak sampan fiber.
Hal itu berbeda dengan perahu selerek, yang mampu menampung puluhan ton ikan, namun juga harus dibagi dengan awak perahu yang jumlahnya bisa mencapai 30 sampai 40 orang.
Untuk membantu nelayan, Kepala Dinas Kelautan, Perikanan Dan Perhubungan Jembrana Made Dwi Maharimbawa mengatakan, pemerintah mengeluarkan banyak program serta berbagai bantuan langsung, namun masalah paceklik ikan yang semakin sering terjadi menurutnya tidak bisa hanya diatasi dengan bantuan tersebut.
"Harus ada kesepakatan yang mengikat di kalangan nelayan, termasuk soal pola tangkap dan pembatasan jumlah ikan yang boleh ditangkap. Tidak hanya nelayan, pabrik-pabrik pengolahan ikan yang banyak ada di Desa Pengambengan juga harus memiliki komitmen dan konsisten untuk mengolah limbahnya dengan baik, sebelum dibuang ke laut. Untuk masalah limbah ini kan sudah ada aturan pemerintah yang ketat, termasuk Pemkab Jembrana sudah sering melakukan pengawasan," katanya.
Dengan kesepakatan terpadu seluruh komponen baik pemerintah, nelayan maupun pengusaha ikan, ia optimis hasil tangkap yang melimpah akan kembali meskipun membutuhkan waktu. (*)