Denpasar (Antaranews Bali) - Pengujung tahun 2017 menjadi waktu yang makin dekat dengan masa pendaftaran Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Bali karena Made Mangku Pastika segera mengakhiri jabatan pada tanggal 28 Agustus 2018.
Oleh karena itu, KPU Provinsi Bali telah menjadwalkan masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah yang maju lewat jalur partai politik mulai dari 8 hingga 10 Januari 2018 untuk mencari pengganti Made Mangku Pastika yang sudah dua periode memimpin Bali.
Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Bali pada tanggal 27 Juni 2018 otomatis hanya bisa diikuti oleh pasangan calon dari parpol karena hingga batas terakhir pendaftaran, 26 November 2017, tidak ada satu pun calon dari unsur perseorangan yang mendaftar dan menyerahkan syarat dukungan ke KPU Bali.
Meskipun saat itu waktu perpanjangan pendaftaran telah diperpanjang dari yang biasanya pukul 16.00 Wita menjadi pukul 24.00 Wita, tetap hasilnya nihil, bahkan Ketua KPU Provinsi Bali Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi harus bergadang di kantornya hingga lewat tengah malam.
Tidak bisa dipungkiri, bukan perkara mudah juga untuk maju lewat jalur perseorangan dalam Pilgub Bali karena wajib menyerahkan syarat dukungan KTP terverifikasi minimal 257.131 orang atau 8,5 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT) pemilu terakhir sebanyak 3.025.066 orang.
Jumlah dukungan tersebut minimal tersebar lebih dari 50 persen kabupaten/kota di Pulau Dewata atau lima kabupaten/kota dari total sembilan kabupaten/kota yang ada di Pulau Dewata.
Untuk pencalonan dari partai politik atau gabungan parpol, yang boleh mendaftar adalah memperoleh paling sedikit 20 persen kursi dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu terakhir. Jika mengacu pada total 55 jumlah kursi di DPRD Provinsi Bali, sebanyak 20 persen dari total kursi itu sebanyak 11 kursi.
Adapun perolehan kursi di DPRD Provinsi Bali berdasarkan hasil Pemilu 2014, yakni Partai Nasdem (2), PDIP (24), Golkar (11), Gerindra (7), Demokrat (8), PAN (1), Hanura (1), dan PKPI (1).
Dengan demikian, hanya dua partai, yakni PDIP dan Golkar yang bisa mengajukan pasangan calon secara mandiri, sedangkan parpol lainnya harus bergabung dengan parpol lainnya jika ingin mengusulkan pasangan calon.
Jika menggunakan acuan 25 persen suara sah, sedikitnya harus mengantongi suara hasil Pemilu 2014 sebanyak 532.257 suara (25 persen x total suara sah 2.129.028).
Hingga menjelang berakhirnya 2017, baru satu pasangan calon, yakni pasangan yang diusung oleh PDIP saja yang sudah dideklarasikan, yakni Ketua PDIP Bali I Wayan Koster sebagai bakal calon gubernur dan Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Arta Ardhana Sukawati (Cok Ace) sebagai bakal calon wakil gubernur.
Dalam suatu kesempatan sosialisasi di KPU Bali, anggota tim pemenangan dari PDIP Bali bahkan telah memastikan "jagonya" itu akan didaftarkan pada hari pertama dibukanya pendaftaran, yakni 8 Januari mendatang, dengan menghadirkan sekitar 10.000 pendukung.
Sementara itu, pasangan calon dari parpol di luar PDIP, hingga saat ini belum memastikan akan menduetkan tokoh mana sebagai calon pemimpin Bali untuk 5 tahun ke depan.
Bahkan, Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta dengan "tagline" Sudikerta Gubernur Bali (SGB) sejak lama menyatakan ingin maju sebagai calon petahana. Namun, belum pula mendeklarasikan tandemnya hingga saat ini. Kendati demikian, santer beredar kabar bahwa Sudikerta akan berpasangan dengan Wali Kota Denpasar Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra.
Tarik Ulur
Terkait dengan persiapan Pilgub Bali 2018, sepanjang tahun ini tarik-ulur anggaran pilkada yang disetujui Pemprov Bali menjadi topik yang ramai diperbincangkan.
Bahkan, hingga akhir tahun pun belum juga menemui titik temu antara kebutuhan anggaran yang diperlukan jajaran KPU Bali dan Bawaslu Bali dengan yang disetujui Pemprov Bali.
Naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pelaksanaan pilkada antara KPU dengan pemprov setempat sudah ditandatangani pertengahan tahun 2017 pada angka Rp229,36 miliar. Demikian pula, antara Pemprov Bali dan Bawaslu Provinsi Bali sebesar Rp62,89 miliar.
Untuk sampai pada angka NPHD tersebut, lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu itu telah berproses sejak awal 2016 dan beberapa kali mengalami rasionalisasi.
Namun, persoalan anggaran pilkada ternyata tidak berhenti setelah penandatanganan NPHD karena anggaran pilkada kembali dipersoalkan oleh sejumlah wakil rakyat saat pembahasan RAPBD 2018 yang menginginkan adanya rasionalisasi berdasarkan hasil perbandingan dengan pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah di Tanah Air.
Hingga akhirnya dalam ketok palu APBD 2018 diputuskan anggaran pilkada untuk KPU Bali dirasionalisasi menjadi sebesar Rp155 miliar dan Bawaslu Bali sebesar Rp39 miliar.
Kementerian Dalam Negeri bahkan sudah berusaha memfasilitasi penyelesaian kisruh persoalan anggaran pilkada dengan memanggil pihak-pihak terkait dari unsur pemprov, KPU setempat, dan Bawaslu Provinsi Bali.
"Kami harapkan ada solusi yang terbaik untuk kita semua di Bali dan anggaran akan kami gunakan secara efektif serta efisien," kata Ketua KPU Provinsi Bali Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi.
Pihaknya akan fokus pada penyelenggaraan tahapan. Terkait dengan persoalan anggaran, akan diserahkan pada mekanisme sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pihaknya berprinsip tahapan pilkada dapat berjalan tepat waktu dan terfasilitasi dengan baik. Anggaran untuk KPU Bali sendiri, sebelumnya disepakati pencairannya dibagi menjadi tiga tahap, yakni tahap pertama sebesar Rp100 miliar, tahap kedua Rp25 miliar, dan sisanya tahap ketiga.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Provinsi Bali Ketut Rudia Rudia mengatakan bahwa pihaknya akan tetap bertahan dengan NPHD yang sudah ditandatangani sebesar Rp62,89 miliar meskipun ada kesepakatan baru antara eksekutif dan DPRD Provinsi Bali untuk memangkas anggaran menjadi Rp39 miliar.
Baginya, NPHD tersebut adalah komitmen antara Pemprov Bali dan Bawaslu Bali. Perubahan terhadap isi dari klausul NPHD harus menjadi kesepakatan kedua belah pihak.
"Kalau kami anggap itu akan berbahaya terhadap pengawasan yang kami lakukan, kami harus tegas. Itu pun pesan dari Bawaslu RI untuk tetap bertahan di NPHD Rp62,89 miliar," ucapnya.
Dengan anggaran dipotong begitu saja menjadi Rp39 miliar, terus terang pihaknya menjadi "gelap" terkait dengan kegiatan mana saja yang akan dibiayai dan beberapa mata anggaran juga sudah dieksekusi.
Honorarium badan ad hoc saja dalam setahun sekitar Rp23 miliar. Belum lagi, ditambah dengan biaya sewa sejumlah peralatatan yang vital, seperti komputer dan lainnya untuk tingkat kecamatan dan kabupaten mencapai Rp5 miliar.
Selain itu, lanjut Rudia, anggaran yang harus mutlak ada adalah untuk penanganan sengketa, anggaran untuk Sentra Gakkumdu yang berdasarkan UU itu melekat di Bawaslu Bali dan seluruh pembiayaannya dari Bawaslu.
Oleh karena itu, Bawaslu Provinisi Bali menekankan bahwa pencegahan dan sosialisasi menjadi aspek penting dalam upaya melakukan pengawasan pilkada maupun tahapan Pemilu 2019 yang berjalan secara paralel.
Terlepas dari persoalan anggaran, pihaknya sangat menginginkan hajatan demokrasi pilkada di Bali dapat berintegritas dari sisi prosesnya dan tegaknya hukum pemilihan. Ujung-ujungnya siapa pun yang terpilih menjadi kepala daerah, akhirnya bisa dipercaya publik.
Setidaknya, pemimpin Bali yang terpilih nanti dapat memiliki sifat-sifat pemimpin "Asta Brata" seperti yang tertuang dalam maskot Pilgub Bali 2018, yakni Kayonan yang di dalamnya terdapat simbol-simbol Asta Brata.
Asta Brata diambil dari kisah Ramayana yang berisikan delapan asas pedoman atau pegangan pemimpin. Delapan pedoman itu, yakni Surya Brata (pemimpin dapat menyinari seluruh rakyatnya tanpa terkecuali), Candra Brata (pemimpin dapat memberikan cahaya dalam kegelapan yang dihadapi rakyatnya), dan Bayu Brata (pemimpin hendaknya mempunyai sifat luhur dan mengetahui segala pikiran rakyatnya sehingga mengerti kesukaran hidupnya).
Berikutnya, Agni Brata (seorang pemimpin dapat mengobarkan api semangat bekerja bagi rakyat untuk mencapai kemajuan), Indra Brata (seorang pemimpin selalu memberikan kesejahteraan pada rakyat), dan Yama Brata (seorang pemimpin seyogianya mengikuti sifat Dewa Yama dalam menegakkan hukum dan memberikan hukuman yang adil).
Selanjutnya, Kuwera Brata adalah seorang pemimpin yang hemat dan cermat dalam menggunakan sumber daya finansial dan sumber daya alam untuk menyejahterakan rakyat. Terakhir, Baruna Brata, yakni seorang pemimpin hendaknya mempunyai pandangan yang luas seperti samudra.(WDY)
Pemimpin baru Bali dalam bayang-bayang anggaran
Kamis, 28 Desember 2017 8:51 WIB