Bahasa Indonesia terus diajarkan di berbagai universitas di luar negeri
dengan harapan banyak penutur asing yang mahir berbahasa Indonesia.
Pemerintah mengirim ratusan pakar dan dosen bahasa Indonesia ke
berbagai negara setiap tahun untuk mengajarkan bahasa Indonesia.
Kebijakan itu dapat dipandang sebagai bagian dari strategi kebudayaan.
Bahasa Indonesia sebagai bagian penting kebudayaan nasional perlu
diekspor agar publik internasional mengenal lebih dekat dengan jati diri
keindonesiaan.
Semua langkah yang diambil pemerintah itu layak diapresiasi. Namun
senyampang menginternasionalkan bahasa Indonesia, pembentukan watak
warga di Tanah Air untuk merasa bermartabat berbahasa Indonesia juga tak
kalah pentingnya untuk diikhtiarkan.
Sikap berbahasa agaknya merupakan soal yang belum terselesaikan di
sini. Salah satu sikap berbahasa yang perlu diluruskan atau dibenahi
adalah meyakini pandangan bahwa menggunakan kosakata asing dalam
bertutur bahasa Indonesia dapat meningkatkan wibawa sang penutur.
Maka berbiaklah pemakaian bahasa yang campur aduk, terutama dalam
bertutur dalam bahasa lisan. Pejabat menggunakan kosakata asing, sering
tidak tepat makna, lalu wartawan mengutipnya mentah-mentah sehingga
kesalahan berbahasa berlanjut ke berbagai ranah dan komunitas.
Ide bahwa setiap instansi pemerintah sebaiknya merekrut sarjana
bahasa tak digubris sampai saat ini. Padahal ini penting untuk
menghasilkan produk berbahasa yang betul di setiap surat keputusan,
penulisan nama-nama kelembagaan, dan pengumuman yang dipampangkan di
ruang publik.
Salah satu kasus kesalahan linguistik dalam penamaan lembaga milik
negara adalah Badan Narkotika Nasional (BNN). Jelaslah bahwa yang
dirujuk oleh adjektiva nasional bukanlah narkotika, tapi badan atau
institusi penanganan penyalahgunaan narkotika itu. Untuk itu, yang betul
secara sintaksis atau tata kata adalah Badan Nasional Narkotika.
Kasus lain adalah nama KPAI yang kepanjangannya adalah Komisi
Perlindungan Anak Indonesia. Juga Komnas PA yang kepanjangannya Komisi
Nasional Perlindungan Anak. Letak kesalahan di sini adalah mengabaikan
prinsip paradigmatik berbahasa Indonesia. Kata perlindungan yang merujuk
pada makna tempat berlindung semestinya diubah, diganti menjadi
pelindungan tanpa /r/ yang berarti tindakan melindungi.
Mungkin saja KPAI atau Komnas PA punya tempat untuk mengamankan
atau menyelamatkan anak dari bahaya atau ancaman pihak lain sebagai
wahana berlindung. Tapi bukan di situ inti fungsi pembentukan KPAI atau
Komnas PA. Kedua lembaga itu tentu lebih dimaksudkan untuk melindungi
sehingga menurunkan nomina pelindungan.
Selain melakukan perbaikan dan pembenahan berbahasa di ranah
domestik, ikhtiar menginternasionalkan bahasa Indonesia perlu ditempuh
dengan kerja inovatif di sektor kebudayaan dalam arti seluas-luasnya.
Artinya, daya kreatif dalam kerja kebudayaan di bidang mana pun perlu
dipompa untuk melahirkan kosakata yang menginternasional. Kebudayaan
Nusantara masa silam yang melahirkan keris, batik, misalnya, telah
memperkaya khasanah kata-kata dalam bahasa Inggris.
Menginternasionalkan bahasa Indonesia sebetulnya diam-diam telah
dikerjakan dalam suasana senyap oleh para pengarang novel yang
berkualitas.
Nama-nama sastrawan seperti Pramoedya Ananta Toer,
belakangan Eka Kurniawan, menyedot perhatian indonesianis Benedict ROG
Anderson (mendiang).
Di balik usaha gencar pemerintah menginternasionalkan bahasa
Indonesia dengan mengirim guru, dosen dan pakar bahasa ke mancanegara
untuk mengajarkan bahasa Indonesia, ada pertanyaan yang mengusik:
seberapa besar keuntungan dan kerugian usaha internasionalisasi itu?
Siapkah jika strategi kebudayaan itu menjadi bumerang dalam konteks
migrasi tenaga kerja? Artinya: gairah orang asing untuk belajar bahasa
Indonesia tak punya tujuan lain selain hendak merebut lapangan kerja di
Indonesia.
Tentu kekhawatiran ini bisa dimentahkan dengan
argumen tandingannya bahwa dengan banyaknya orang asing menguasai bahasa
Indonesia, semakin banyak pula peluang pembelian produk-produk
berbahasa Indonesia oleh publik dunia.
Film, novel, musik yang berbahasa Indonesia akan menjadi konsumsi
bagi warga dunia yang memahami bahasa Indonesia. Tapi bisa juga yang
terjadi adalah sebaliknya: orang asing itulah yang menulis novel,
menggubah musik dan membuat sinematografi berbahasa Indonesia untuk
konsumsi orang Indonesia.
Andai ini yang terjadi, sukseslah kerja menginternasionalkan bahasa
Indonesia kepada penutur asing. Kenapa? Sebab orang asing yang mahir
berbahasa Indonesia pun berperan memperkaya kebudayaan Indonesia dengan
kreasi-kreasi mereka dalam bahasa Indonesia.
Bahasa Inonesia pun akan tercatat sebagai bahasa yang bisa menjadi
medium bagi pengungkapan visi warga dunia di berbagai belahan dunia.
Ada pepatah: untuk menguasai suatu bangsa, kuasailah bahasanya
terlebih dulu. Tentu pepatah ini tak perlu dimaknai secara harfiah,
apalagi jika dikaitkan dengan konteks menginternasionalkan bahasa
Indonesia. Bila pemaknaan harfiah itu dilakukan, menginternasionalkan
bahasa Indonesia berarti memberi jalan kepada orang asing untuk
menguasai Indonedia.
Maka dalam konteks menginternasionalkan bahasa Indonesia ini,
pepatah yang lebih pas untuk dijadikan argumen adalah: tak kenal maka
tak sayang. Jadi, dengan mengenalkan atau mengajarkan bahasa Indonesia,
publik dunia akan menyayang kebudayaan Indonesia dan syukur-syukur
terpanggil untuk mengonsumsi serta memuliakannya.
Jalan melingkar yang bisa dijadikan strategi memikat orang asing
untuk mempelajari bahasa Indonesia adalah dengan membuka peluang
lahirnya orang-orang hebat di segala profesi kehidupan.
Itu sebabnya tak perlu tercengang ketika di Jakarta ada seorang
jurnalis yang bergairah mempelajari bahasa Itali karena keterpesonaannya
pada wartawan hebat Oriana Fallaci. (WDY)
Penduniaan Bahasa Indonesia
Sabtu, 14 Oktober 2017 6:49 WIB