Jakarta (Antara Bali) - Guru besar hukum internasional dari Universitas
Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan, ancaman PT Freeport Indonesia
untuk membawa masalah perubahan perjanjian kerja dengan Indonesia ke
Arbitrase Internasional itu adalah bentuk arogansi.
"Ini karena Freeport merasa sejajar dengan pemerintah Indonesia," ujar Juwana, di Jakarta, Selasa.
Membawa sengketa ini ke Arbitrase Internasional merupakan langkah
paling akhir jika tidak ada kesepakatan apapun antara PT Freeport
Indonesia dan/atau induk perusahaannya, Freeport McMoran, dengan
pemerintah Indonesia.
Kemarin, CEO Freeport McMoran Inc, Richard
Adkerson, di Jakarta, menyatakan, PT Freeport Indonesia tidak dapat
menerima syarat-syarat kelangsungan usaha penambangan mereka sebagaimana
diajukan pemerintah. Freeport McMoran Inc berkedudukan di Phoenix,
Arizona, Amerika Serikat.
Mereka berkeras pada ikatan perjanjian berpola kontrak karya, yang akan berakhir pada 2021 nanti.
Dalam
kontrak karya, pemerintah pemilik SDA berkedudukan sejajar dengan
investor. "Apakah mungkin di era saat ini sebuah negara yang berdaulat
dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku
usaha?," kata Juwana.
Ia menekankan, PT Freeport Indonesia telah salah memposisikan
pemerintah Indonesia secara sejajar mengingat kedudukan pemerintah ada
dalam dua dimensi.
Dimensi pertama, pemerintah sebagai subjek hukum perdata. Pemerintah
kerap memiliki posisi subjek hukum perdata dalam kegiatannya seperti
melakukan pengadaan barang dan jasa.
"Sebagai subjek hukum perdata maka kedudukan pemerintah memang
sejajar dengan pelaku usaha. Namun ada dimensi lain dari pemerintah
yaitu sebagai subjek hukum publik. Sebagai subjek hukum publik maka
posisi pemerintah berada di atas pelaku usaha dan rakyat," ungkap dia.
Ia mengatakan fiksi hukum berlaku adalah saat pemerintah membuat aturan maka semua orang dianggap tahu.
"Pemerintah memaksakan aturan untuk diberlakukan dengan penegakan
hukum. Bila rakyat atau pelaku usaha berkeberatan dengan aturan yang
dibuat maka mereka dapat memanfaatkan proses uji materi baik di MK
maupun MA," kata dia.
Ia mengatakan dua dimensi ini yang dinafikan PT Freeport Indonesia,
melalui kontrak karya dimana pemerintah seolah hanya merupakan subjek
hukum perdata.
"Tidak heran bila Freeport hendak membelenggu kedaulatan hukum
negara Indonesia dengan Kontrak Karya. Bila demikian apa bedanya
Freeport dengan VOC di zaman Belanda?," ujar dia.
Perlu dipahami, lanjutnya, pemerintah sebagai subjek hukum perdata
tetap harus tunduk pada aturan-aturan yang dibuat pemerintah sebagai
subjek hukum publik.
Oleh karena itu, kontrak karya tidak boleh bertentangan dengan hukum
yang berlaku. "Hal ini ditegaskan dalam pasal 1337 KUH Perdata dimana
disebutkan bahwa perjanjian akan terlarang bila bertentangan dengan
hukum," katanya. (WDY)
PT Freeport Indonesia Dinilai Sedang Tunjukkan Arogansi
Selasa, 21 Februari 2017 15:57 WIB