Denpasar (Antara Bali) - Kondisi musim hujan yang mengguyur sebagian besar daerah di Indonesia, termasuk Bali, belakangan ini menyebabkan tanaman cabai tidak dapat berproduksi secara maksimal.
Tanaman cabai yang peka terhadap hujan atau kelebihan air menjadi kendala bagi petani untuk menghasilkan buah cabai yang bermutu, padahal salah satu komoditas pertanian itu tetap diperlukan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kondisi demikian menyebabkan produksi cabai sangat terbatas, pada sisi lain cabai sangat diperlukan konsumen sehingga menyebabkan harganya melonjak tinggi.
Hasil pemantauan harga cabai di sejumlah pasar tradisional di Kota Denpasar, Tabanan dan daerah lainnya di Bali dalam sepekan terakhir melambung tinggi hingga mencapai Rp120.000 per kilogram.
Padahal harga cabai yang dihimpun Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Kabupaten Tabanan untuk cabai rawit sebelumnya hanya Rp30.000 kini meningkat menjadi Rp110.000 dan cabai hijau dari Rp20.000 melonjak menjadi Rp80.000/kg.
Sementara cabai lombok yang sebelumnya hanya Rp10.000 kini menjadi Rp18.000, cabai keriting dari Rp25.000 meningkat menjadi Rp40.000 perkilogram.
Kondisi tersebut jauh berbeda dibandingkan harga sembako lain seperti beras, telur, bawang putih dan bawang merah yang cukup stabil, tidak ada tanda-tanda kenaikan harga yang drastis seperti cabai.
Di balik keluhan sebagian besar konsumen tentang harga cabai itu, sejumlah petani cabai di Banjar Kembang Merta, Desa Candi Kuningan, Kabupaten Tabanan, justru menikmati keuntungan besar di tengah melonjaknya harga komoditas cabai tersebut.
I Wayan Rata (35) seorang petani cabai mengaku sangat antusias dengan harga cabai sekarang yang mampu meningkatkan pendapatan dan tingkat kesejahteraan keluarganya.
Naiknya harga cabai di tingkat petani secara otomatis langsung mendorong kenaikan harga di pasaran atau tingkat pedagang.
Atap Plastik
Menurut Wayan Rata, ayah dua orang putra dan putri itu, produksi cabai yang dihasilkan di tengah cuaca musim hujan berdampak terhadap menurunnya hasil panen. Harga cabai mengalami lonjakan, akibat tingginya permintaan pasar sementara panenan/produksinya sangat terbatas.
Cabai kualitas campuran yakni cabai merah dan hijau di tingkat petani harganya mencapai Rp50.000/kg, meningkat tajam dari sebelumnya hanya Rp18.000/kg.
Wayan Rata yang mengusahakan tanaman cabai seluas 30 are (3.000 meter persegi) mengaku, cuaca buruk tidak hanya mengancam jumlah produksi, hujan yang turun dengan intensitas lebat juga menambah biaya produksi, karena tanaman cabai itu memerlukan perawatan agar terhindar dari hama penyakit.
Petani dalam melakukan perawatan ekstra untuk tanaman cabai itu memerlukan dana yang tidak sedikit untuk membeli obat-obatan guna menangkal serangan penyakit, serta biaya pembelian plastik yang berfungsi untuk melindungi tanaman.
Dari segi biaya perawatan itu sangat mahal, khususnya menggunakan pelastik sebagai atap pelindung tanaman. Namun dari segi produksi cabai yang dihasilkan sangat bagus.
Tingkat ketahanan tanaman cabai yang menggunakan naungan atap palstik dan tanpa naungan, hasilnya sangat berbeda.
Tanaman cabai yang menggunakan naungan plastik akan membuat tanaman cabai lebih maksimal, mampu terhindar dari serangan hama jamur musim hujan, sehingga dari jumlah panen stabil atau normal.
Hal itu terbukti dari lahan seluas 3.000 meter persegi mampu menghasilkan 25 kg setiap tiga hari, jika rata-rata harganya Rp80.000 berarti mampu menghasilkan Rp2 juta/tiga hari atau Rp20 juta per bulan.
Hal senada juga diungkapkan petani cabai lainnya, Ayu Tina yang merasa sangat untung dengan naiknya harga cabai di luar kewajaran sekarang ini.
Sebab, naiknya harga cabai, tidak banyak berdampak pada menurunnya permintaan pasar, malah permintaan akan jenis komoditas tersebut juga meningkat.
"Kondisi itu tentu menguntungkan petani cabai. Sebab, di petani harga jual bisa lebih mahal dengan berada pada kisaran Rp50.000 hingga Rp80.000 per kg," ujar Ayu Tina.
Mulai Menurun
Harga cabai di sejumlah pasar tradisional di Bali mulai menurun seiring gencarnya operasi pasar yang dilakukan pemerintah daerah bekerja sama dengan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) setempat.
TPID Bali menggelontorkan sebanyak 200 kilogram cabai rawit dengan harga Rp85 ribu per kilogram ke tengah masyarakat melalui pasar murah guna menekan tingginya harga komoditas tersebut.
Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta yang juga Ketua TPID mengatakan, kegiatan Pasar murah sebagai upaya menekan harga pasar cabai rawit yang belakangan ini melonjak.
Pihaknya mengalokasikan masing-masing 100 kilogram cabai rawit ke Pasar Kreneng dan Pasar Badung (eks Tiara Grosir) Kota Denpasar sebagai tahap awal pasar murah di Ibu Kota Provinsi Bali itu.
Pasar murah yang digelar TPID Bali itu disambut antusias masyarakat yang saat itu tengah berbelanja kebutuhan pokok di Pasar Kreneng.
Harga cabai yang dijual lebih murah dengan harapan harganya cepat turun, ujar Tunik, seorang pembeli, yang berharap kondisi pasar komoditas tersebut segera kembali normal. (WDY)
Tanaman Cabai Berpelindung Atap Plastik Masih Menguntungkan
Jumat, 13 Januari 2017 14:55 WIB