Denpasar (Antara Bali) - Kasus dugaan pelecehan seksual yang menimpa Anand Krishna dinilai penuh upaya rekayasa secara sistematis, guna menyingkirkan kiprah dan peran tokoh spiritual itu.
Penilaian tersebut disampaikan oleh tiga orang tokoh yang menjadi narasumber dalam acara diskusi dan konferensi pers bertajuk "Kontroversi Kasus Anand Krishna" di University Club (UC) UGM Yogyakarta, Selasa (31/5).
Dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Denpasar, Rabu, disebutkan bahwa kasus dugaan pelecehan seksual itu bermula dari pengaduan salah seorang peserta program di Anand Ashram, Tara Pradipta Laksmi (19), yang dinilai tidak memenuhi syarat minimum untuk dilanjutkan pada tingkat pembuktian.
Menurut mantan anggota DPR RI Utami Pridada, apa yang dituduhkan terhadap tokoh perjuangan Pancasila itu hanya dijadikan entry point terhadap tuduhan yang lain guna membangun opini negative di masyarakat.
Hal itu yang dialami Anand Krishna. Alibi yang disampaikan di persidangan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Tara sebagai pelapor tidak menunjukkan sebagai korban pelecehan. "Dari segi kejiwaan dia sama sekali tidak tertekan, bahkan sering tertawa. Dari fisik, visum menunjukkan dia masih perawan tingting," kata Utami.
Dia menyayangkan sikap arogansi pengacara Tara yang sudah menyatakan bahwa kasus tersebut bergeser ke arah penodaaan agama. "Dan itu diceritakan pada media," ujarnya.
Sementara itu aktivis GMRP Romo Sapto Rahardjo menuturkan, kasus yang dialami oleh Anand Krishna juga dialami oleh tokoh-tokoh yang memperjuangkan kebenaran, kebangsaan, dan menegakkan Pancasila. Oleh pihak-pihak yang merasa terancam dengan apa yang sudah dilakukan oleh para tokoh tersebut. "Pola-nya tetap sama, mereka merekayasa suatu kasus untuk menjatuhkan dan menghambat langkah perjuangan tokoh-tokoh tersebut. Dengan mudahnya tokoh-tokoh itu dibenturkan dengan masalah hukum yang sudah direkayasa," ucap Romo Sapto.
Pakar hukum pidana Fakultas Hukum UGM Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, dari segi formil maupun materiil, kasus Anand Krishna tidak bisa terpenuhi. "Jika kasus itu tetap diteruskan, saya yakin 99 persen adalah rekayasa," ucapnya.
Menurut Edward, yang juga menjadi saksi ahli dalam kasus tersebut, secara formil Anand dijerat pasal 290 ayat 1 KUHP dan pasal 294 ayat 2 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penggunaan pasal itu, menurutnya sangat lemah. Pasal tersebut menyatakan ancaman hukuman tujuh tahun penjara bagi orang yang melakukan tindakan cabul pada orang yang pingsan atau tidak berdaya. Tetapi Tara mengaku sadar saat pelecehan itu terjadi, meski jaksa memaksakan jika Tara dihipnotis. Yang patut dicermati juga adalah kata tidak berdaya, secara sederhana ada usaha tekanan fisik entah terikat, dikurung, atau disuntikkan obat tertentu.
"Dan ketika dituntut sebagai tindakan yang berlanjut, Tara dalam kondisi sadar. Kok jadi janggal. Masak kalau sadar, bisa terjadi berulang-ulang," jelasnya pada forum yang digagas Gerakan Moral Rekonsiliasi Pancasila (GMRP) itu.
Dari segi materiil, menurut Edward lebih lemah. Pasalnya, ketentuan ada dua orang saksi saja tidak terpenuhi. "Lagi-lagi yang bicara cuma Tara. Nanti temannya ngomong lagi tentang teman lain yang juga dilecehkan. Keterangan ini tidak saling terkait. Ya seperti gosip lah. Lucunya, keterangannya ya cuma kata si A, katanya si B itu dijadikan fakta hukum," terangnya.
Edward menduga ada upaya sistematis untuk menyingkirkan Anand Krishna. "Ingat ini adalah yang ketiga kalinya Anand dikriminalisasi," ucapnya.
Upaya kriminalisasi terhadap Anand, yang pertama tahun 2000 soal penodaan agama yang kemudian tidak terbukti, karena telah dikuatkan pernyataan dari tokoh-tokoh Islam.
Kedua tahun 2005 tentang penipuan uang sebesar Rp150 juta yang juga tidak ada bukti dan akhirnya dicabut kembali oleh pelapor, demikian Edward.(*)