Bogor, Jawa Barat (Antara Bali) - Guru Besar IPB, Prof Dr Made Astawan,
mengingatkan Indonesia dapat menghadapi ancaman jebakan pangan jika
tidak diantisipasi karena sejak 2005 mayoritas penduduk memiliki tingkat
konsumsi sangat tinggi terhadap beras dan sagu dibanding negara lain.
"Jika negara hanya bertumpu pada dua pangan pokok ini saja, apalagi
bahan pangan itu diimpor maka Indonesia akan menghadapi jebakan pangan,"
kata guru besar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB itu, di Bogor,
Minggu.
Dia menjelaskan, tingkat konsumsi beras Indonesia rata-rata 120 kg
perkapita per tahun. Jumlah itu sangat tinggi dibandingkan Jepang dan
Malaysia hanya 60 kg perkapita per tahun.
"Jika diukur dari jumlah penduduk, idealnya 90 kg perkapita per
tahun, ini sudah normal. Kalau 120 kg perkapita per tahun itu masih
tinggi," katanya. Tidaklah usah di tingkat nasional, di tingkat Provinsi
Jawa Barat saja, jumlah keperluannya sudah sangat banyak.
Ia mencontohkan Jepang yang konsumsi per kapitanya hanya 60 kg, dan
masa tanam padi hanya setahun sekali tetapi masih bisa ekspor beras,
sementara Indonesia, tingkat konsumsi tinggi, dan perlu impor.
"Jepang berhasil mengembangkan diversifikasi pangan sehingga stok pangan mereka tetap aman," katanya.
Memperingati Hari Pangan Se-Dunia ini, dia mengingatkan telah
terjadi ketimpangan pada pola konsumsi pangan Indonesia, yang bertumpu
pada satu sumber karbohidrat utama, yakni beras.
Padahal sejatinya Indonesia memiliki keragaman tinggi bahan pangan
sumber karbohidrat (lebih dari 30 jenis pangan), dengan komposisi gizi
yang tidak kalah dengan beras dan sagu.
"Perlu pemberdayaan pangan lokal dalam rangka ketahanan pangan dan Indonesia," katanya.
Dia mengusulkan tiga strategi yang dapat dilakukan pemerintah dalam
menghadapi jebakan pangan itu dan mengembalikan kecintaan masyarakat
terhadap pangan dalam negeri.
Pertama, perlu evaluasi terhadap
kebijakan pemerintah berupa pemberian raskin kepada rakyat yang
membutuhkan, tanpa mempertimbangkan budaya dan pola pangan kedaerahan
yang telah ada.
Solusi kedua yakni, perlu menghidupkan kembali optimalisasi budidaya
pangan setempat. Dan ketiga, perlu program diversifikasi produk
berbasis pangan setempat.
Landasan hukum tentang diversifikasi konsumsi pangan setempat sudah
sangat jelas, yakni UU Nomor 8/2012 tentang Pangan, PP Nomor 68/2002
tentang Ketahanan Pangan, PP Nomor 28/2004 tentang Keamanan, Mutu dan
Gizi Pangan.
Juga Perpres Nomor 22/2009 tentang Kebijakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis sumberdaya setempat, dan
Permentan Nomor 43/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Setempat.
"Diversifikasi pangan berbasis pangan setempat dapat dimulai dari
teknologi penepungan. Seperti makanan tradisional masyarakat Jawa Barat,
Cireng, kini dibuat dengan beragam model dan juga rasa, ini contoh
sederhana yang bisa dilakukan," katanya.
Ia menjelaskan penepungan dibanding bahan segar memiliki keunggulan
seperti lebih awet, mudah disimpan, mudah dalam transportasi, dan
penjualan, serta lebih mudah dan praktis dalam aplikasinya pada
pembuatan berbagai produk, di antaranya mi, beras analog, aneka kue, dan
lainnya,
"Dengan bentuk tepung, maka orientasi pengguna pangan setempat akan
menjadi lebih luas, dengan konsep dari pertanian ke meja makan menjadi
dari pertanian ke pasar sehingga petani termotivasi menghidupkan
perekonomian daerah," katanya.(WDY)
Indonesia Bisa Hadapi Jebakan Pangan
Minggu, 16 Oktober 2016 21:33 WIB