Dia mengatakan, salah
satu kejanggalan itu ialah jumlah terpidana yang dieksekusi, dari yang
semula 14 orang menjadi empat saja.
Selain itu, pemerintah tetap mengeksekusi terpidana mati yang telah
dilindungi dalam pasal 13 UU Grasi, yakni Sack Osmane, Humprey
Jefferson, dan Freddy Budiman.
Walau telah
tewas dieksekusi, nama Budiman belakangan masih disebut-sebut terkait
informasi langsung dia kepada Koordinator Kontras, Harris Azhar, sebelum
dia dieksekusi. Budiman membeberkan keterlibatan sejumlah pejabat dalam
penyelundupan, peredaran, dan konsumsi narkoba selama bertahun-tahun.
Tentang kejanggalan proses eksekusi mati jilid 3 kali ini, Ibrani menilai pemerintah sengaja menutupi berbagai informasi, baik pada keluarga maupun pengacara, terutama soal nama-nama terpidana yang akan dieksekusi.
Tentang kejanggalan proses eksekusi mati jilid 3 kali ini, Ibrani menilai pemerintah sengaja menutupi berbagai informasi, baik pada keluarga maupun pengacara, terutama soal nama-nama terpidana yang akan dieksekusi.
Pada sisi berbeda, pemerintah kini
telah menyatakan, tidak ada "drama" dalam eksekusi jilid 3 kali ini.
Reportase pada eksekusi jilid 2 tempo hari memang sangat masif, bahkan
TNI AU mengerahkan "pengamanan udara" berupa patroli satu flight pesawat tempur Sukhoi Su-27/30MKI Flanker di udara Pulau Nusakambangan.
"Pemerintah
juga melanggar ketentuan UU tentang Notifikasi yang mengisyaratkan
eksekusi dilakukan 3X24 jam. Para terpidana mati diberikan notifikasi
pada 26 Juli malam sehingga eksekusi seharusnya pada 29 Juli malam" kata
Ibrani.
Hal lain, ialah dalam rencana
anggaran eksekusi yang tidak dipublikasikan. Hasil investigasi YLBHI dan
sejumlah lembaga memperlihatkan biaya pemerintah mengeksekusi 14
terpidana mati mencapai Rp 7 miliar.
"Yang kami kesulitan, mengakses soal anggaran. Itu hasil investigasi
kami," kata dia.
Mereka mendesak pemerintah mengambil aksi nyata terkait temuan kejanggalan-kejanggalan ini. (WDY)