Jakarta (Antara Bali) - Koordinator Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Julius Ibrani, di Jakarta, Minggu, mengungkap sejumlah kejanggalan proses dan pelaksanaan eksekusi mati jilid 3 kali ini. Empat terpidana mati telah dieksekusi di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, Jumat lalu (29/7).
Dia mengatakan, salah satu kejanggalan itu ialah jumlah terpidana yang dieksekusi, dari yang semula 14 orang menjadi empat saja. Selain itu, pemerintah tetap mengeksekusi terpidana mati yang telah dilindungi dalam pasal 13 UU Grasi, yakni Sack Osmane, Humprey Jefferson, dan Freddy Budiman.
Walau telah tewas dieksekusi, nama Budiman belakangan masih disebut-sebut terkait informasi langsung dia kepada Koordinator Kontras, Harris Azhar, sebelum dia dieksekusi. Budiman membeberkan keterlibatan sejumlah pejabat dalam penyelundupan, peredaran, dan konsumsi narkoba selama bertahun-tahun.
Tentang kejanggalan proses eksekusi mati jilid 3 kali ini, Ibrani menilai pemerintah sengaja menutupi berbagai informasi, baik pada keluarga maupun pengacara, terutama soal nama-nama terpidana yang akan dieksekusi.
Pada sisi berbeda, pemerintah kini telah menyatakan, tidak ada "drama" dalam eksekusi jilid 3 kali ini. Reportase pada eksekusi jilid 2 tempo hari memang sangat masif, bahkan TNI AU mengerahkan "pengamanan udara" berupa patroli satu flight pesawat tempur Sukhoi Su-27/30MKI Flanker di udara Pulau Nusakambangan.
"Pemerintah juga melanggar ketentuan UU tentang Notifikasi yang mengisyaratkan eksekusi dilakukan 3X24 jam. Para terpidana mati diberikan notifikasi pada 26 Juli malam sehingga eksekusi seharusnya pada 29 Juli malam" kata Ibrani.
Hal lain, ialah dalam rencana anggaran eksekusi yang tidak dipublikasikan. Hasil investigasi YLBHI dan sejumlah lembaga memperlihatkan biaya pemerintah mengeksekusi 14 terpidana mati mencapai Rp 7 miliar. "Yang kami kesulitan, mengakses soal anggaran. Itu hasil investigasi kami," kata dia.
Mereka mendesak pemerintah mengambil aksi nyata terkait temuan kejanggalan-kejanggalan ini. (WDY)