Borobudur (Antara Bali) - Ribuan umat Buddha di Indonesia merayakan Hari Raya Suci Maha Puja Asadha yang biasanya jatuh pada bulan Juli. Maha Puja Asadha merupakan salah satu dari empat hari besar agama Buddha, yakni memperingati pertama kalinya Buddha Gautama mengajarkan Dhamma kepada lima pertapa, yaitu Dhammacakka Pavatana Sutta (Kotbah Pemutaran Roda Dhamma).
Ranģkaian acara ini menjadi penutup gelaran Indonesia Tipitaka Chanting (ITC) selama tiga hari yang diselenggarakan oleh Sangha Theravada Indonesia didukung oleh Magabudhi, Wandani, dan Patria.
Perayaan Maha Puja Asadha kali ini terasa istimewa karena dihadiri hingga 132 orang anggota Sangha yang berasal dari Sangha Theravada Indonesia dan sejumlah bhikkhu mancanegara, serta peserta Pabajja Samanera dan Athasilani Sementara. Tidak kurang dari 10.000 umat Buddha dari Jawa Tengah, Yogyakarta, dan daerah-daerah lain juga ikut dalam perayaan ini.
Dikutip dari laman Kemenag, Senin, perayaan Maha Puja Asadha diawali dengan Pembacaan Tipitaka yang selesai pada Minggu (17/7) siang. Sekitar jam 13.00 WIB, perayaan dilanjutkan dengan prosesi Asadha Puja dari Candi Mendut ke pelataran Barat Candi Borobudur melewati Candi Pawon. Barisan prosesi diawali dengan bendera merah putih, bendera Buddhis, sarana puja, dan relik Buddha. Kemudian barisan anggota Sangha diikuti oleh pandita dan umat yang membentuk barisan sekitar 3 km.
Turut hadir Pgs. Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Paniran beserta pejabat di Lingkungan Ditjen Bimas Buddha dan Kepala Biro Mental Spiritual yang mewakili Gubernur Jawa Tengah. Dalam sambutannya, Minggu (17/7) malam, Paniran menyampaikan bahwa Perayaan Asadha yang diawali ITC dengan mengulang kembali ajaran Buddha merupakan salah satu cara penyebaran serta pelestarian Buddha Dhamma.
“Saya mengajak umat Buddha mengikuti Puja Asadha dengan kesungguhan hati serta mengutamakan nilai nilai yang dapat membangun rasa kebersamaan dan kerukunan baik intern umat Buddha, antar umat beragama, maupun dengan pemerintah,†tegasnya.
Lebih lanjut, Paniran menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia sangat majemuk. Karena itu, maka sikap saling menghormati, saling menerima dan saling mengerti terhadap sesama perlu di pertahankan agar semuanya dapat hidup berdampingan dengan yang lain.
Sementara itu, dalam pesan Dhammanya, Bhikkhu Sri Pannyavaro Mahathera menyampaikan bahwa kitab suci Tipitaka terdiri lebih dari ratusan ribu Sutta. Untuk membacanya sampai habis mungkin butuh waktu lebih dari puluhan tahun.
Namun dari semua ajaran Buddha yang begitu banyak, lanjut Bhikkhu, ada ajaran yang sangat luar biasa, yaitu ajaran tentang penderitaan. Hal terpenting dari ajaran ini adalah bagaimana cara melenyapkan penderitaan. Penderitaan akan lenyap ketika sebab dari penderitaan, yaitu: keinginan (tanha), dapat diatasi. Caranya, dengan sungguh-sungguh melaksanakan delapan unsur jalan utama.
Menurut Bhante, bila orang bijak berkata dengan benar, berhenti menghujat, membicarakan orang lain, dan menghancurkan lingkungan, maka berhentilah hawa nafsu dalam batin. Untuk itu, umat Buddha harus selalu berjuang meningkatkan sati sampajana dan kebijaksanaan agar hidup bahagia. (WDY)